Catatan Materi Bahasa Indonesia

Catatan Materi Bahasa Indonesia

Senin, 18 Januari 2010

Analisis Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerpen

Latar Belakang
Bahasa meupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai bahasa maka manusia dapat mengetahui isi dunia melalui ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Secara internal artinya pengkajian tersebut dilakukan terhadap unsur intern bahasa saja seperti, struktur fonologis, morfologis, dan sintaksisnya saja. Sedangkan kajian secara eksternal berarti kajian tersebut dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakai bahasa itu sendiri,masyarakat tutur ataupun lingkungannya. Pengkajian bahasa secara eksternal juga mengkaji bagaimana pembauran pelbagai bahasa dalam suatu wilayah dan penguasaan bahasa kedua, ketiga bahakan selanjutnya oleh penutur atau pengguna bahasa.
Seseorang yang menguasai dua bahasa biasa disebut bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahsawan) sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan) Chaer (1995:112).
Sebagai seorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa dan juga dengan dua budaya, seorang dwibahsawan tentu tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa. Salah satu akibatnya adalah umpang tindih antara dua sistem bahasa yang dipakai atau digunakannya dari unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Ini dapat terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).
Karena semakin berbaurnya budaya di era glogalisasi ini, alih kode dan campur kode sering terjadi baik dalam percaapan sehari-hari maupun dalam sebuah wacana tulis (Cerpen, artikel, dll). Karena banyaknya alih kode dan campur kode yang terdapat dalam wacana maka penulis melalukan sebuah analisis terhadap Cerpen dengan judul “ANALISIS ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM CERPEN MENARI DI SURGA”



Rumusan Masalah
Memilih masalah penelitian adalah suatu langkah awal dari kegiatan penelitian. Sseorang mengadakan penelitian karena ia ingin mendapatkan jawaban dari masalah yang dihadapinya. Untuk itu terlebih dahulu dipahami secara mendalam pelbagai hal yang menyangkut masalah tersebut, baik secara teoritis maupun secara praktis agar penelitian yang dilakukan dapat mencapai hasil yang optimal. Maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1.Faktor apa yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode dalam cerpen Menari di Surga ?
2.Apa fungsi pembicaraan dalam cerpen menari disurga?
3.Apa tujuan pengunaan alih kode dan campur kode dalam cerpen menari disurga?

Tujuan Penelitian

1.Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan terjadi alih kode dan campur kode dalam Menari di Surga.
2.Untuk mengetahui fungsi pembicaraan dalam cerpen Menari di Surga.
3. Untuk mengetahui tujuan menggunakan alih kode dan campur kode dalam pembicaraan / dialog pada cerpen Menari di Surga.


Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang telah ditentukan dan teruji untuk melakukan sebuah penelitian yang telah dipikirkan secara matang-matang, logis, dan disusun secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu metde yang digunakan untuk mengungkapkan atau menggambarkan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa sekarang, pendapat penulis ini diperkuat oleh pendapat Surakmad (1994 : 139) metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang tertuju pada suatu pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang.


BAB II
DESKRIPSI TEORI

Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya, Banten), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak) Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.

Pengertian Alih Kode
Dalam keadaan bilingual, ada kalanya penutur mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam pembicaraan yang dilakukannya, hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Misalnya, pada waktu si A berbahasa X dengan si B, datang si C yang tidak dapat berbahasa X memasuki situasi berbahasa itu, maka si A dan B beralih memakai bahasa yang dimengerti oleh si C. Kejadian semacam ini kita sebut alih kode.
Appel dalam Chaer (1995 :141) mendeskripsika Alih kode sebagai dejala peralihan pemkaian bahasa karena berubahnya situasi.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa maka Hymes dalam Chaer (1995 :141) mengatakan alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa tetapi juga terjadi anatara ragam-ragam atau gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam suatu bahasa.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.
Kridalaksana (1982: 7) menegaskan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode.
Hymes (1964) mengemukakan faktor-faktor dalam suatu interaksi pembicaraan yang dapat mempengaruhi penetapan makna, yaitu:
Siapa pembicara atau bagaimana pribadi pembicara ?
Di mana atau kapan pembicaraan itu berlangsung ?
Apa modus yang digunakan ?
Apa topik atau subtopik yang dibicarakan ?
Apa fungsi dan tujuan pembicaraan ?
Apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang digunakan ?
Dari beberapa pendapat ahli di atas jelas bahwa alih kode dapat terjadi pada masyarakat tutur yang bilingual, multilingual atau bahkan pada masyarakat tutur monolingual. Dalam masya rakat tutur mono lingual alih kode terjadi pada tingkat tutur dalam bahasa tersebut, misalya dari bahasa jawa kromo (inggil) ke bahas janwa ngoko ataupun sebaliknya.

Pengertian Campur Kode

Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
Nababan (1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Kalau terdpat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
Thelander dalam Chaer (1995 : 152) Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedangkan apabila dalam sautu peristiwa tutur, klausa-klausa dan frase-farse yang digunakan terdiri daru klausa dan frase campuran danmasing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.
Dengan kata lain campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil dan tingkat pendidikan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.


BAB III
ANALISIS

Deskripsi Data
Penelitian ini dilakukan pada sebuah cerpen dengan judul “Menari di Surga” diambil dari buku kumpulan cerpen yang berjudul “Menari di Surga” karya Agustrijanto terbit tahun 2004. berikut ini adalah sinopsis dari Cerpen Menari di Surga.
Sinopsis
Cerpen ini mengisahkan tentang sebuah keluarga kecil yang hidup serba kekurangan, mereka tinggal di gunung kidul. Kehidupan yang getir mengharuskan keluarga ini untuk bekeja keras menutupi kebutuhan hidup mereka. Karena kebutuhan yang semakin mendesak membuat mereka berinisiatif mencari nafkah di kota dan kebetulan pak Sutirmo (kepala keluarga) mempunyai kerabat dekat di bandung. Kemudian keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan satu orang anak tersebut mencoba bertahan dalam himpitan ekonomi di kota besar dengan sedikit keterampilan yang mereka miliki. Ternyata kehidupan dikota tidaklah mudah seperti apa yang mereka bayangkan. Pak Sutirmo pun kebingungan, namun istri pak sutirmo mengusulakn agar pak sutirmo mengamen saja berbekal keterampilan menari dan menyani jawa yang dimiliki. Awalnya pak sutirmo menolak namun ketika anaknya Suminten mengajukan diri untuk menari akhirnya ia mau dengan sedikit rengekan dari anaknya. Sampai suatu ketika suminten tertabrak mobil sesat sesudah mengamen di lampu merah.

Analisis Data
Dari cerpen yang dipilih penulis, terdapat banyak alih kode dan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa jawa karena memang dalam tokoh dalam cerpe ini digabarkan berlatar belakang budaya jawa.untuk lebih jelas penulis memaparkan alih kode dan campur kode tersebut melalui kutipan-kutipa di bawah ini.

Analisis Alih Kode

(9) “ Bu kaset-te wis elek (Bu kasetnya sudah jelek)! Kata Suminten sambil bergoyang.

Alih kode pada kutipan dari paragrap (9) di atas terjadi dari kutipan pembicaraan tokoh (dalam cerpen) ke deskripsi penulis. Terjadi peralihan bahasa dari bahasa jawa ke bahasa Indonesia karena perubahan topik pembicaraan pada kalimat pertama menggunakan bahasa jawa karena untuk mempertegas dan memperkuat karakter tokoh dalam cerpen yang berasal dari etnis jawa. Sedangkan pada kalimat selanjutnya menggunakan bahasa Indonesia untuk mendeskrpsikan prilaku atau apa yang dilakukan tokoh (suminten). juga mengimbangi pembicaraan pada kalimat sebelumnya.

(16) “ Tapi aku iki wis tuo wis ra patut di delok (aku ini sudah terlalu tua, tak pantas lagi dilihat orang ). Aku sendiri harus tahu diri.
Pada kutipa (16) di atas alih kode terjadi karena perubahan topik pembicaraan, diper jelas dari pembicaraan sebelumya “ bapak kan pinter main gamelan, jogged dan nyinden, lumayan ka kalau kita ngamen”.

Bapak kan pinter main gamelan, njoged, dan nyinden. Lumayan kan kalau kita ngamen.
(16) “ tapi aku iki wis tuo, ra patut di delok ( aku ini sudah terlalu tua, tak pantas lagi dilihat orang). Aku sendiri harus tahu diri.

Pada kutipan paragraf (16) di atas terjadi alih kode dari bahasa indonesia ke bahasa jawa peralihan alih kode semacam ini disebut alih bahasa, alih kode ini terjadi karena berubahnya topik pembicaraan. Pada kalimat sebelumnya topik yang dibicarakan adalah mengenai pekerjaan yang akan dilakukan dan ketika topik berubah mengenai diri tokoh sendiri bahasa yang digunakan beralih dari bahasa Indonesia ke bahasa jawa karena lawan bicara pun memilik bahasa ibu yang sama yaitu bahasa jawa. Tujuan alih kode ini adalah untuk mempertegas pembicaraan penutur dan lawan tutur mengikuti apa yang dikatakan penutur.

(23) “Siti sundari memuji, “Wah apik tenan njogedmu, Nduk…. (bagus sekali menarimu, Nak) katanya bangga”.

(40) “Minten ojo lali iki! (jangan lupa ini) kata Ayah sambil memberikan selembar kain putih jibab.”

Pada kutipan (23) di atas bahasa yang digunakan pengarang cerpen awalnya adalah bahasa Indonesia, berupa klausa yang berfungsi untuk memperjelas perilaku tokoh dan apa yang diperbuat tokoh, begitupun sebaliknya dengan kutipan-kutipan lain berikutnya. dengan kata lain klausa tersebut mendeskripsikan ekspresi dan perbuatan tokoh seperti stage direction dalam naskah drama. Alih kode pada kutipan di atas adalah alih bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa jawa.

(41) “Rambute dilebok no, yo Nduk (Rambutnya dimasukan kedalam ya Nak) lanjut sutrimo penuh kasih sayang.”

(48) “Lan kulo Njoged Pyimba, anaku njoged pyimba, nangeng ra pinanggeh (dan aku menari sendiri, demikian juga anaku anaku menari sendiri, kami tak pernah bisa bertemu kembali). Beberapa orang yang mengerti bahasa jawa tertegun.

(49) “Langgam jowo apa iku pak? (tembang jawa macam apa tu pak) tannya mereka.”

Secara leksikal beberapa kutipan di atas memiliki sudut pandang dan makna yang berbeda, pada kalimat awal yang menggunakan bahsa jawa adalah kutipan dialog atau perkataan tokoh dalam cerita. Sedangkan kalimat selanjutnya yang beralih menggunakan bahasa Indonesia (selain terjemahan) adalah kalimat penjelas dari pengarang.
Alih kode yang terjadi adalah alih bahasa yaitu peralihan bahasa dari bahasa jawa ke bahasa Indonesia. Tujuan dari alih kode ini adalah untuk memperkuat karakter tokoh yang digambarkan berasal dari kampung dengan bahasa pertamanya adalah bahasa jawa.

Analisis Campur Kode

Dari hasil analisis penulis pada cerpen Menari Di Surga penulis mengutip beberapa kalimat yang terdapat campur kode kemudian mendeskripsikannya berdasarkan jenis, faktor penyebab terjadinya, dan tujuan penggunaannya. Berikut ini adalah data dan analisisnya:

(8) “Edan kamu! Mau cari mati? Kamu bisa lihat kan kendaraan lagi banyak.

(16) “kalau main gamelan dan nembang, aku masih berani.”

Campur kode pada kutipan (8) di atas adalah bercampurnya unsur bahasa Jawa yang diselipkan dalam bahasa Indonesia. Campur kode tersebut terjadi karena tujuan pembicaraan dan kebiasaan pembicara pada bahasa pertamanya yang terbawa kedalam bahasa keduanya ketika berbicara. Fungsi pembicaraan yaitu ungkapan kekhawatiran tokoh terhadap lawan bicaranya dan untuk mengingatkan lawan bicara. Pada kutipan (16) campur kode terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur misalnya pada kata nembang dalam bahasa Indonesia dapat diganti dengan kata menyanyi.

(20) “Ya ndak apa-apa to bu…. Kita kan sama-sama cari makan.”
“Mau dititipkan atau di bulik atau budenya, kok ngga tegel (tega). La wong mereka sendiri hidupnya susah.”
(39) ”Ah wis to (sudahlah) pak. Ini semua sudah kehendak gusti Allah. Iya kan pak? Suminten hanya melakoni saja, “paparnya nrimo,”

Pada kutipan di atas terdapat pembauran unsur bahasa jawa dan pola kalimat bahasa jawa yang dilafalkan dalam bahasa Indonesia. Campur kode ini termasuk kedalam interferensi, karena berupa ksalahan penggunaan bahasa.
Kridalaksana (2008:95)
Bilingualisme. Penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa; cirri-ciri bahasa lain itu masih kentara.
Pengajaran bahasa. Kesalahan bahasa berupa unsure bahasa sendiri yang dibawakan kedalam bahasa atau dialek lain yang dipelajari.

(34) “…., stopan lampu merah dan kompleks perumahan RSS tempat biasa ia show.”

Dalam kutipan (34) di atas campur kode terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur misalnya pada kata stopan dalam bahasa Indonesia dapat diganti dengan kata pemberhentian.
Pada kata stopan juga termasuk interferensi karena kata yang diambil langsung dan bukan serapan dari bahasa inggris tersebut menggunakan akhiran an, yang merupakan unsur kalimat dari bahasa Indonesia. Pada kata show sebenarnya dapat diganti dengan kata pentas (dalam konteks ini berarti mengamen). Tujuannya adalah agar lebih akrab didengar oleh pembaca karena cerpen ini adalah cerpen remaja.

(41) “Para pengendara nampaknya necis-necis bergaya”.
(42) “Suminten mulai GR merasa punya daya pesona”.

Pada kutipan di atas campur kode yang terjadi adalah percampuran ragam bahasa yaitu ragam bahasa santai atau informal yang diselipkan kedalam ragam bahasa Indonesia formal pada kata necis-necis dan GR, kata GR ini adalah akronim dari Gede Rasa yang merupakan ragam bahasa informal. Tujuannya adalah agar lebih akrab didengar oleh pembaca karena cerpen ini adalah cerpen remaja dan bersifat lebih santai.


Kesimpulan

Dari hasil analisis yang dilakukan pada cerpen Menari di Surga penulis dapat menyimpulkan bahwa, alih kode dan campur kode dalam cerpen ini terjadi karena beralihnya topik pembicaraan, lawan bicara, kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh pembicara dan tujuan pembicaraan.
Fungsi dan tujuan penggunaan alih kode dalam cerpen ini adalah untuk menegaskan pembicaraan pada lawan bicara dan untuk memperkuat karakter tokoh yang digambarkan berasal dari desa yang bahasa pertamanya adalah bahasa jawa.
Pada campur kode tidak ada fungsi khusus, hanya agar lebih sanatai dibaca dan lebih akrab dengan pembaca seperti pengunaan bahasa gaul yang diselipkan diantara kalimat.

1 komentar:

  1. makasih ya!! saya jadi punya infirasi setelah baca blog anda!!!

    BalasHapus