A. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti “nama” dan hypo berarti “di bawah”. Jadi, secara harfiah berarti “nama yang termasuk di bawah nama lain”. Sesuai dengan yang diungkapkan Keraf (2005:38) Hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas- bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil dan ada kelas bawah yang merupakan komponen komponen yang tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan di kelas atas ini disebut superordinat dan kata yang berada di kelas bawah disebut hiponim. Istilah superordinat dan hiponim adalah istilah semantik. Sedangkan ilmu biologi mempergunakan istilah genus dan spescies dalam penggolongan dan pembagian. Ilmu kebudayaan mempergunakan istilah kelas dan sub-kelas.
Verhar (2001: 396) Hubungan kehiponiman dalam pasangan pasangan kata adalah hubungan antara yang lebih kecil (secara ekstensional) dan yang lebih besar (secara ekstensional pula). Misalnya, melati adalah hiponim terhadap bunga, dan merah merupakan hiponim terhadap berwarna. Secara semantik Verhaar dalam Cahaer (2009:99) menyatakan hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Suherlan, Odien (2004:272) Hiponimi adalah hubungan makna yang mengandung pengertian hierarki (pegaturan secara berurutan unsur-unsur bahasa mulai dari yang terkecil “terendah” sampai yang terbesar “tertinggi”).
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Umpamanya kata melati adalah hiponim terhadap kata bunga sebab makna Melati berada atau termasuk dalam makna kata bunga. Melati memang bunga, tetapi bunga bukan hanya melati melainkan meliputi semua jenis bunga misalnya anggrek, mawar, adenium , sedap malam, flamboyan dan lain sebagainya.
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Hubungan kehiponiman tidak berlaku timbal balik atau hanya satu arah. Hubungan melati terhadap bunga adalah hiponimi tetapi hubungan bunga terhadap melati bukanbukanlah hiponimi tetapi hipernimi.
Jadi, kata Melati berhiponim terhadap kata bunga, tetapi kata bunga tidak berhiponim terhadap kata Melati, sebab makna bunga meliputi seluruh jenis bunga. Dalam hal ini relasi antara bunga dengan Melati jenis bunga lainnya disebut hipernimi. Jadi, kalau Melati berhiponim terhadap bunga, maka bunga berhipernim terhadap Melati.
Contoh lain, kata bemo dan kendaraan. Kata bemo berhiponim terhadap kata kendaraan, sebab bemo adalah salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya kata kendaraan berhipernim terhadap kata bemo sebab kata kendaraan meliputi makna bemo disamping jenis kendaraan lain ( seperti becak, sepeda, kereta api, dan bis ).
Dalam definisi Verhaar di atas disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Tetapi kiranya sukar mencari contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal lain lebih banyak menyangkut masalah logika dan bukan masalah linguistik. Lalu, oleh karena itu menurut Verhaar (1978 :137) masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.
Karena konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada diatasnya. Umpamanya kata bunga yang merupakan hipernimi terhadap kata Melati, anggrek, mawar, adenium , sedap malam, flamboyan dan kata-kata tersebut akan menjadi hiponimi terhadap kata tumbuhan. Mengapa demikian? Sebab yang termasuk kata tumbuhan bukan hanya bunga, tetapi juga rumput, pepohonan, lumut dan sebagainya. Selanjutnya tumbuhan ini pun merupakan hiponim terhadap kata makluk, sebab yang termasuk makhluk bukan hanya tumbuhan tetapi juga manusia. Konsep hiponim dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda namun agak sukar pada kata kerja dan kata sifat.
Meronimi
Partonimi atau Meronimi adalah bentuk ujaran yang maknanya merupakan bagian atau komponen dari bentuk ujaran yang lain. Menurut Chaer (2009: 101) meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang merupakan bagian dari kata lain. Jika kita menyebutkan sebuah kata maka tanpa perlu dijelaskan makna kata tersebut sudah mewakili kata lain. Konsep meronimi hampir serupa dengan hiponimi dan hipernimi hanya saja pada meronimi kata (unsur leksikal) yang ada merupakan bagian dari makna kata lain, bukan jenis atau macam dari benda lain.
Contoh:
1. Pintu, jendela, dan atap adalah meronimi dari rumah.
2. Roda, knalpot, dan mesin adalah meronimi dari kendaraan bermotor.
Meronimi tidak bersifat dua arah, melainkan bersifat satu arah. Pintu adalah Meronimi dari rumah, tapi rumah bukan meronimi dari pintu.
Polisemi
Polisemi berasal dari kata poly = banyak, dan sema = tanda, dapat dikatakan bahwa polisemi adalah kata yang memiliki bermacam-macam makna. Menurut Chaer (2009:101) polisemi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Kata polisemi yang berarti “satu bentuk yang mempunya beberapa makna” sangat dekat dengan istilah lain yaitu homonimi yaitu dua kata atau lebih tetapi memiliki bentuk yang sama. Dalam polisemi kita hanya menghadapi satu kata saja, tetapi memiliki banyak makna.
Misalnya pada kata korban memiliki makna 1) pemberian untuk menyatakan kebaktian; 2) orang yang menderita kecelakaan karena suatu perbuatan, 3) orang meninggal karena tertimpa bencana. Ketiga makna ini saling berdekatan satu sama lain dan dalam kamus biasanya ditempatkan di bawah satu topik yang sama.
Makna 1
Makna 2
Makna 3
Contoh lain adalah kata kepala, memiliki makna 1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; 2) bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan; 3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; 4) pemimpin atau ketua seperti kepala sekolah, kepala kantor, kepala bagian; 5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat “setiap kepala menerima bantuan sebesar Rp. 200.000” dan 6) akal budi seperti pada kalimat “badannya besar tapi kepalanya kosong”.
Makna leksikal kata kepala di atas adalah ‘bagian tubuh manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makna leksikal ini sesuai dengan referennya (lazim disebut makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau komponen makna, antara lain adalah:
1. terletak di sebelah atas atau depan.
2. merupakan bagian yang penting (tanpa kepala orang tidak bisa hidup, tanpa kaki atau lengan orang masih bisa hidup).
3. berbentuk bulat.
Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen makna ini mengalami perkembangan, menjadi makna-makna tersendiri misalnya pada kepala surat dan kepala Negara “terletak di sebelah atas”-lah yang kemudian diterapkan sebagai makna dan begitu seterusnya tanpa lepasa dari makna asal sebagai dasar. Jika diurutkan maka perkembangan komponen makna tersebut adalah:
1. Makna asal; makna yang sesuai dengan referen atau juga makna leksikal dari kata itu.
2. Berkembang menjadi makna tersendiri untuk menyatakan segala sesuatu yang sesuai dengan makna leksikal tadi, misalnya terletak di bagian atas pada contoh kata kepala.
3. Berkembang mengikuti ciri-ciri yang sesuai dengan makna leksikal (makna asal) misalnya pada kaki meja yang sesuai dengan ciri-ciri makna asalnya yaitu terletak di bagian bawah dan berfungsi sebagai penopang.
Pustaka Acuan
Verhar, J. W. M. 2001. Asas-Asas Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Gajah Mada University Press.
Keraf, Goris. 2005. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Suherlan dan Rosidin, Odien. 2004. Ihwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta Press.