Catatan Materi Bahasa Indonesia

Catatan Materi Bahasa Indonesia

Selasa, 15 Desember 2009

Diari Sepi...

Diari Sepi

Gemuruh ombak memintal memori
membenamkan angan pada diari
tangis malam terjemahkan sepi
mencabik rindu dalam hati

Sajak-sajakmu membanjiri angan
mengebiri asa dan harapan.
wahai pualam surga
detak jantungku ada pada mu.

Serang, 09

Minggu, 29 November 2009

analisis mimiesis berdasarkan sosoilogi sastra dalam opera kecoa

PENDAHULUAN

1. Biografi Nano Riantiarno

Bernama lengkap Noerbertus Riantiarno yang biasa dipanggil Nano, lahir di Cirebon pada 6 juni 1949. sejak tahun 1977 ia menjadi pemimpin Teater Koma, grup drama yang sampai awal 1985 telah mementaskan 46 lakon di panggung maupun di TVRI. Dengan suasana penuh musik dan nyanyi, dramanya yang telah berhasil mendatangkan banyak penonton antara lain : Opera Ikan Asin (saduran karya Bertolt Bretcht), Opera Salah Kaprah (olahan dari The Comedy of Errors karya Shakespeare). Kecuali naskah olahan karya asing, Nano juga mementaskan cerita buatannya sendiri, misalnya Rumah Kertas, Maaf, Maaf, Maaf, dan Opera Kecoa.
Diluar panggung Nano menulis scenario film, paling tidak sudah ada 17 judul yang ia buat, misalnya, dr. Siti Pertiwi, Sang Juara, Gaun Pengantin, dan Jakarta, Jakarta.untuk yang disebut terakhir, pada Festifal Film Indonesia di Ujung Pandang tahun 1978 Nano berhasil mendapatkan Piala Citra. Dramawan yang juga redaktur majalah Zaman ini memulai main drama sejak di sekolah menengah, di Cirebon kota kelahirannya pada 1964. suatu kali, untuk pementasan Caligula pemeran utamanya sakit. Ia disuruh menggantikannya selama 10 hari berlatih keras. Sejak itu ia menekuni dunia panggung dan lupa pada cita-citanya menjadi professor. Tamat SMA ia masuk Akademi Teater Nasional (ATNI) Jakarta, kemudian bergabung dalam grup Teater Populer.
Pada tahun 1975, untuk lebih mengenal kehidupan teater di berbagai tempat, Nano melakukan perjalanan keliling Indonesia.




2. Latar Belakang

Drama opera kecoa adalah salah satu karya Nano Riantiarno yang menarik untuk dikaji dan dijadikan sebagai tolak ukur betapa kerasnya perjuangan hidup kaum urban yang berada dipinggiran kota dan termarjinalkan. Drama ini mengisahka tentang orang-orang dari stasus sosial yang diwakili oleh para pelacur, waria, dan bandit kelas teri yang berjuang dan mencari penghidupan dikota besar, mereka digusur, ditembak, dan perkampungan mereka dibakar. Keadilan tidak berpihak pada mereka, mereka hanya dianggap kecoa yang menjijkan.
Naskah opera kecoa dipilih karena sangat menarik dan isinya relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Drama ini juga banyak menuai kontroversi dan sering dicekal dalam pementasannya. Hal inilah yang semakin membuat penulis penasaran untuk menelaahnya, apakah drama ini benar-benar mewakili kaum urban yang terpinggirkan.













PEMBAHASAN


1.PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Nyoman Kutha Ratna memberikan sejumlah definisi mengenai definisi sosiologi sastra, di antaranya adalah:
1.Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
2.Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandng di dalamnya.
3.Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya.
4.Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepensi antara sastra dengan masyarakat.

Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya.

2.DRAMA SEBAGAI CERMINAN SOSIAL

Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Pandangan Plato dan Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh George Lukacs seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31 : google). Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27: google).

3.OPERA KECOA SEBAGAI CERMINAN SOISIAL

Jika ditelaah dari pandangan para ahli di atas drama opera kecoa merupakan sebuah mimesis atau cerminan dari suatu masyarakat kelas bawah yang termarjialkan, kerasnya perjuangan hidup masyarakat kelas bawah dan diskriminasi pemerintah terhadap kaum minoritas seperti para waria ini dapat dilihat dalam berbagai usur di dalamnya, diantaranya adalah:

a)Mimesis Dalam Tokoh

Karakteristik-karakteristik dalam naskah drama opera kecoa mencerminkan sikap,prilaku dan perwatakan masyarakat pinggiran kota metropolitan yang digambarkan menempati daerah Slum (Perkampungan kumuh pinggiran kota). Pelacur seperti tokoh Tarsih, Tuminah, Kasijah dan yang lainnya juga preman kelas teri seperti tokoh Kumis dan Bleki merupakan gambaran stastus sosial rendah masyarakat pinggiran yang tersisihkan, berjuang demi sesuap nasi yang rela menjual kehormatan dan kurang mendapat perhatian dan pembinaan dari pemerintah sehingga siklus kehidupan mereka hanya berputar disekitar itu. Penamaan tokoh juga mencerminkan sosio kultural seperti pada nama para tokoh di atas mencerminkan nama-nama orang desa bukan kultur perkotaan.
Nano Riantiarno sebagai pengarang drama ini mencoba menggambarkan bagaimana kerasnya perjuangan hidup dan diskriminasi yang diterima oleh sekolompok komunitas masyarakat kecil yang berprofesi sebagai pelacur dan waria yang dianggap sebagai kecoa yang mengotori tempat-tempat yang ada di kota. Gambaran kehidupan para pelacur dan para pejabat nakal tak bermoral dalam cerita drama ini sampai saat ini masih sering terjadi.
Secara kolektifitas tokoh berfungsi sebagai penanda sosio kultural, misalnya tokoh julini dan roima juga para pelacur tadi merupakan kaum urban yang mencari penghidupan dan menhadu nasib di kota. Tokoh pejabat dalam naskah drama ini mencerminkan arogansi pemerintahan yang bertindak semaunya dan tidak memperdulikan keadilan serta tidak mempunyai empati terhadap masyarakat .

b)Mimesis Dalam Stage Direction

Cerminan kemasyarakatan dalam stage direction lebih jelas terlihat karena menggambarkan latar suasana tempat dimana masyarakat itu tinggal dan berjuang hidup. Stage direction digambarkan dengan detail sehingga menerjemahkan dalam visual panggung, misalnya komplek pelacuran, perkampungan kumuh yang penuh gubuk-gubuk, yang sangat jelas terlihat bahwa itu menggambarkan tempat tinggal masyarakat ekonomi rendah bukan konglomerat atau tempat tinggal pejabat.

c)Mimesis Dalam Dialog

Ragam dialog yang terdapat dalam naskah drama ini merupakan ujaran santai, dan tidak bersifat formal, bahasa yang digunakan benyak terdapat campur kode seperti pada dialog berikut:
Pejabat : yang penting dana kredit itu akan keluar dengan segera.
Tamu : Pasti.... pasti... one for me, one for you. Masing-masing lima persen.

Dalam dilog di atas terdapat campur kode pada perkataan penutur (Tamu) yaitu menggabungkan bahasa inggris dengan bahasa indonesia tapi si pendengar mengerti dan paham maknanya. pada dialog di atas mencerminkan mereka berasal dari masyarakat yang status sosialnya tinggi bukan orang pnggiran atau orang desa.
Berbeda lagi dengan dialog berikut ini:
Kumis : Monyong.... Tutup bacot loe. Beo (Bleki ketakutan) nah, aku ditendang dari jabatan hansip lantaran dianggap tidak mampu. Mau jadi satpam... kalah saingan, lagian aku buta huruf.
Bleki : jadi... nah...
Dalam dialog diatas terdapat campur kode pada perkataan penutur (Kumis) yaitu menggabungkan bahasa betawi dan bahasa indonesia. Ujaran ini mencerminkan status sosial rendah atau masyarakat betawi pinggiran. Dan masih banyak dialog-dialog lain seperti ragam idiolek yang digunakan para waria seperti tokoh julini menggembarkan kultur budaya masyarakat pinggiran kota.

d)Mimesis Dalam Ideologi Pengarang

Secara implisit dalam karya-karyanya suara Riantiarno adalah suara kaum urban kota, pinggiran. Keberpihakan dia kepada kaum pinggiran sendiri juga sudah menjadi pesan tersendiri. Suara-suara kritik sosial, ekonomi dan politik, terutama dalam menyoal kasus-kasus:
A.penggusuran dengan dengan membumihanguskan perumahan pelacuran dan daerah kumuh;
B.membubarkan masa yang demonstrasi dengan kekuasaan pelor dan bedil;
C.pejabat yang tidak memiliki integritas moral yang baik terbukti dengan sering “main¨ di lokalisasi.Selain itu pejabat juga korupsi dan kolutif;
Riantiarno memberikan pembelajaran demokratisasi politik terhadap institusi-institusi partai politik sebagai saluran aspirasi. Institusi kaum pinggiran lebih beradab dalam menyuarakan politiknya, tidak barbar seperri partai politik yang sering menggalang masa untuk menekan lawan politiknya hingga sampai terjadi anarkisme. Riantiarno seperti sedang melakukan dekonstruksi terhadap institusi yang menyokong demokrasi. Riantiarno sedang mengejek dan meledek demokrasi yang dijalankan oleh golongan yang berdiri di atas kaki politikus dan merasa atau seolah-olah golongan intelektual. Riantiarno memilih institusi kaum pinggiran untuk menyuarakan aspirasi politik demokrasi dan politik ekonomi adalah sebuah pesan ideologis juga, bukan untuk sebuah tindakan yang artifisial.






















KESIMPULAN

Berdasarkan uraian atau analisis yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra tercipta takan lepas dari unsur masyarakat atau sosial. Hubungan sastra dengan masyarakat sebagai cerminan (mimesis) dalam drama opera kecoa dapat dilihat dari aspek berikut:
Dalam Tokoh
Dalam Stage Direction
Dalam Dialog
Dalam Ideologi Pengarang
Drama ini lebih dominan mencerminkan suara kaum urban pinggiran dan masyarakat kelas bawah yang tersisihkan dan tidak mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah, yang terlalu diskriminatif. Juga menggabarkan kritik social, ekonomi, politik, dan penyalahgunaan kekuasaan. Drama ini merupakan bentuk ekspresi pengarangnya yang menentang pemerintahan yang tidak berpihak pada kaum minoritas. Riantiarno memilih institusi kaum pinggiran untuk menyuarakan aspirasi politik demokrasi dan politik ekonomi adalah sebuah pesan ideologis.













DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
WWW. Venayaksa.blogspot.com
WWW.Google.co.id

Selasa, 03 November 2009

serpihan cinta

gemuruh ombak memintal memori
membenamkan angan pada diari
ketika hati mulai kuselami
serpihan cinta kutemukan di sini.

03.11.2009

Selasa, 27 Oktober 2009

pendekatan semiotik terhadap opera kecoa


Pendekatan Semiotik

Untuk menyelami teks opera kecoa penulis memaki pendekatan semiotik, kenapa kami meilih kajian semiotic dibandingkan dengan kajian yang lain? menurut Halliday dalam Kutha Ratna (2004:98) menyebutkan bahwa semioltik adalah kajian umum dimana bahasa dan sastra hanyalah satu bidang di dalamnya. Meskipun demikian justru dalam bahasa dan sastralah kajian semiotic dilakukan secara mendalam, sehingga dalam periode dan semestaan tertentu semiotik seolah-olah menjadi dominasi ilmu sastra. Atas dasar inilah penulis mencoba membongkar teks opera kecoa dengan semiotik agar didapati hasil kajian yang optimal.
Semiotik didefinisikan oleh Ferdinan de Saussure di dalam Course in General Linguistics, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit, dalam definisi itu adalah prinsip, bahwa semiotika menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehinga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Penggunaan metoda semiotik sebagai pendekatan pembacaan dalam penelitian karya sastra (drama) didasarkan pada pengertian tentang tanda, cara kerjanya, dan penggunaannya. Menurut Peirce (dalam Sahid, 2004: 5) tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Manusia memiliki kemungkinan yang sangat luas dalam penerapan tanda-tanda, diantaranya tanda-tanda dengan kategori linguistik. Charles Sander Peirce mengelompokan tipologi tanda, hubungan antara tanda dengan acuannya dibedakan menjadi tiga, yaitu :ikon, indeks, dan symbol: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna menjelaskan ketiganya sebagai berikut:
Ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto
Indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat seperti asap dan api, tidak akan ada asap jika tidak ada api.
Simbol, hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan seperti Bendera.
Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko dan Rahmanto, 1998:133). Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahuikan sesuatu hal kepada seseorang.
Pada dasarnya, naskah drama merupakan kumpulan simbol. Sebagai simbol, karya drama akan berarti jika penikmatannya berada pada konvensi yang sama. Jadi, sudah ada persetujuan antara pemakai simbol tentang hubungan simbol dengan acuannya. Yang unik adalah drama memberi kebebasan yang lebih besar pada penafsir simbol dari pada simbol-simbol lain yang lebih terbatas, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
Berikut ini beberapa analisis semiotik dalam naskah drama Opera kecoa:
Tanda dalam karakter
Individualisasi
Karakteristik dari setiap tokoh tentu mempunyai pembawaan, daya tarik yang berbeda dan dan bisa memusatkan suatu perhatian tehadap karakter individual.
(Index) Dalam naskah opera kecoa ini bisa dilihat dari para pelacur seperti tuminah yang dulunya dia ini adalah gadis lugu dan baik, berubah menjadi seorang cabo/pelacur akibat dari kerasnya ibu kota juga kurangnya kepedulian pemerintah terhadap warga pinggiran dan pengangguran. Selain tuminah ada juga kumis yang dulunya seorang hansip kemudian beralih profesi menjadi preman dan centeng dari komlpek rumah bordir.
(Ikon) Tuminah diperlihatkan sebagai seorang pelacur yang selalu diantri dan diminati pejabat dan tamunya . dapat ditafsirkan Tuminah adalah pelacur paling cantik, paling profesional dalam melayani tamu-tamunya, terutama gaya-gaya “permaianannya¨. Tuminah paling pandai memuaskan tamu-tamunya sehingga pejabat selalu berkunjung dan berkunjung.
(Ikon) Dalam naskah opera kecoa ini pejabat aparatur negara digambarkan sebegitu buruk mental mentalnya, ia sering menggunjungi tuminah yang merupakan pelacur. selain itu juga pejabat digambarkan tidak mempunyai integritas moral yang tinggi, gemar korupsi, tidak memiliki empati terhadap rakyat yang ada di pemukiman kumuh walaupun jelas terlihat didepan matanya. Jauh dari keadilan dan selalu menelesaikan masalah dengan kekerasan, ini bisa dilihat dari Satpol PP yang selalu bertindak semena-mena. Inilah yang mungkin menyebabkan naskah ini dicekal dan tidak boleh dipentaskan pada masa orba.
(Simbol) Dalam Opera Kecoa, penamaan tokoh seperti Roima, Julini, Tarsih, Tuminah, Asnah, Kasijah, dari segi kultural nama mereka adalah nama-nama orang desa, orang-orang kampung dan bukan dari kultur perkotaan.

kolektivitas
Pasukan anti huru-hara yang bertindak kasar merupakan symbol dari kekusaan yang semena-mena yang hanya mementingkan golongan. Pemerintah menganggap para banci dan renman yang ada dipinggiran kota harus enyah, seperti dalam kata “disemprot dengan obat kecoa”,pemerintah menganggap mereka tidak mempunyai keterampilan apapun. Seperti dalam dialog Roima ketika Julini tertembak, “dia bukan tidak ingin menjadi sekretaris dan direktis, mereka hanya punya keahlian sebatas memijat¨.

Julini dan Roima digambarkan dari desa kembali ke kota untuk mencari penghidupan yang layak. Di atas denotatif ini terdapat tafsir implisit, bahwa kota tetap menjadi daya tarik bagi masyarakat desa yang mengenggap kota adalah impian, kota adalah harapan, sekalipun hidup di kota begitu sulit dan membutuhkan perjuangan yang keras.

Tanda dalam dialog
Dalam lakon opera kecoa symbol dibentuk oleh majas misalnya ketika pejabat dan tamu asingnya membicarakan kesejahteraan rakyat di lapangan golf, menggambarkan pemerintahan yang menyepelekan masalah rakyat dan lebih mementingkan sumbangan dana yang akan diberikan oleh tamu asing tersebut.
Selain dalam bentuk percakapan seperti, dialog juga dibawakan dengan dinyanyikan, misalnya Julini, Pejabat, Penghuni (Orang-orang), para bandit, dan para Waria. Penyampaian melalui nyanyian ini mungkin agar pembaca dan penikmat drama merasa terhibur dan pesan dapat dipahami dengan mudah, komunikatif sehingga persoalan dalam naskah tersebut dapat dimengerti oleh berbagai kalangan.

Tanda dalam setting/ latar
Tanda dalam setting lebih jelas terlihat mengenai latar sosial yang digambarkan secara detail dalam visual panggung. Dalam eksposisi digambarkan secara visual sisi lain suasana tentang peradaban kota yang gemerlap. Tentang kehidupan para kecoa yang berhimpitan dalam lorong-lorong yang gelap dibalik kemegahan gedung-gedung tinggi, monumen. Di balik kota, banyak derita, kelaparan, kemiskinan dan tragedi. Yang satu menjadi kecoa dan yang lain menjadi garuda. Bumi bergetar, rentetan bunyi tembakan. Nyanyian dan tangisan.
Pemandangan yang begitu kontras juga jelas diperlihatkan antara lapangan golf dan pemukiman kumuh, misalnya saat pejabat dan tamu asing pergi satpam memnuka kain putih yang menutupi gubuk-gubuk. Jelas ini merupakan indeks (hubungan tanda dan objek karena sebab akibat), oleh sebab pemerintahan yang tidak bisa mengelola, mengayomi masyarakat pinggiran dan menata kotanya sendiri dia merasa malu terhadap tamunya dan yang diperlihatkan hanyalah proyek-proyek yang pembangunannya sedang berjalan, dan ini juga merupakan cara agar sumbangan dan dari tamu asing agar cepat dicairkan.

Ideologi
Simbol yang dioperasikan Riantiarno dalam drama Opera Kecoa telah membawa pencerahan dan pandangan lain terhadap kaum urban miskin, kaum pingggiran, kaum yang dimetaforakan hanyalah kecoa.Dalam pandangan umum, seperti pelacur, waria, gelandangan, bandit kelas teri, cabo, germo adalah “sampah masyarakat¨. Riantiarno, sebagai seniman memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan umum, dalam posisi sebagai seniman teater bagaimana lakon menjadi penting untuk menyuarakan kontrol sosial di masyarakatnya.
Dalam drama Opera Kecoa, orang-orang pinggiran ini diposisikan sebagai pejuang, sebagai pahlawan. Tema demokrasi, tuntutan keadilan, kemiskinan, pemerintah yang adil, isu perempuan, adat perkawinan, diskriminasi rasial dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat mendomasi isi tubuh lakon Opera Kecoa.
Konflik kaum pinggiran dengan Pejabat, Petugas dan Satpam dilambangkan sebagai pertentangan Riantiarno dengan Pejabat Orde Baru ketika melaksanakan kebijakan politiknya. Orde baru dikritik dan diserang Riantiarno dengan babak belur. Ia menguliti kejahatan politik Orde baru dalam representasi teater. Kerasnya Riantiarno menghajar Orde Baru, sekeras Orde Baru melarang Opera Kecoa untuk dipentaskan. Demokrasi dan keadilan ekonomi yang diperjuangkan Riantiarno berbanding lurus dengan tidak berjalannya demokrasi politik dan ekonomi dalam Orde Baru.





KESIMPULAN
Penulis berhasil menemukan tanda (ikon, indeks, symbol), seperti apa dioperasikan Riantiarno dalam naskah lakon Opera Kecoa. Selain itu juga membongkar makna ideologisnya. Berikut ini adalah temuan-temuan yang penulis maksud.
Tanda dapat dilihat dalam tokoh melalui nama ,jenis kelamin, penampilan, kepribadian, tingkah laku, perbuatan dan latar sosialnya.
Menggunakan diksi dialog dengan bahasa keseharian sehingga mencerminkan kewajaraan. Simbol tertata dalam dialog yang bermakna pada tingkat kuantitas, kualitas, relasi dan sikap.
Simbol dalam stage direction menggambarkan latar suasana tempat, waktu dan latar sosial. Selain itu, menjadi keterangan-keterangan lakuan para tokoh. Terutama performance tokoh dalam gesture dan mimik.
Ideologis dalam drama Opera Kecoa berpihak pada kaum urban miskin/kaum pinggiran, mendorong politik demokratisasi dan kritik sosial ekonomi, kuam pinggiran sebagai pahlawan, diskriminasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat. lakon/ drama bisa digunakan untuk memberdayakan orang-orang pinggiran dan menyoroti perjuangannya supaya masyarakat umum bisa mengerti kehidupan yang lebih baik dan dapat membantu kondisi sosialnya. Opera Kecoa adalah ekspresi politik masyarakatnya untuk melawan kekuatan penguasa dan keadaan sosial yang tak adil.






Pustaka Acuan.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Senin, 19 Oktober 2009

puisi cinta

Sendiri
Aku sendiri
Sendiri di sini
Sendiri kawanku
Sunyi hidupku

Meski cinta, kasih sayang, dan pujian mengiringi
Aku ingin sendiri!

Aku sendiri
Di sini sendiri
Di sana sendiri
Kemana-mana sendiri

Walau ribuan hati menyertai
Aku ingin sendiri

Aku sendiri
Sendiri aku
Tak sendiri, bukan aku.

Syaiful munkari
Serang 25.06.09

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kekeliruan Penggunaan tanda baca

Kekeliruan Penggunaan Pungutasi (tanda baca)

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada kekeliruan dan kesalahan penempatan tanda baca khususnya dalam artikel di koran Radar Banten edisi Selasa 14 Juli 2009. Bahasa dalam pengertian sehari-hari adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis merupakan pencerminan kembali dari bahasa lisan itu dalam bentuk simbol-simbol tertulis. Penguasaan bahasa yang benar sesuai dengan kaidah yang ada merupakan kunci kelancaran dan kesempurnaan proses komunikasi. Dalam bahasa tertulis biasanya terdapat kesalahan-kesalahan penggunaan tanda baca yang kemudian mempersulit pembaca untuk dapat memahami isi dari tulisan tersebut. Kesalahan dan kekeliruan tersebut dapat disebabkan karena kurangnya informasi, pengetahuan, dan pengalaman pada diri penulis sebagai bekal untuk menulis. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesalahan dan kekeliruan penggunaan tanda baca yang sering dilakukan oleh penulis. Metode dalam penelitian ini aalah metode penelitian deskriptif. Kesimpulan menunjukkan bahwa dalam artikel di Koran Radar Banten masih ada kesalahan penempatan tanda baca meskipun tidak terlalu banyak. (kata kunci : menganalisis dan mendeskripsikan pelbagai pengertian tanda baca dan kesalahannya).





Pendahuluan

Penguasaan bahasa yang benar sesuai dengan kaidah yang ada merupakan kunci kelancaran dan kesempurnaan komunikasi seseorang tidak dapat menyampaikannya dan menerima pesan berupa perasaan, kemauan, pikiran, kemauan dan gagasan secara efektif apabila orang tersebut tidak menguasai bahasa sebagai sarananya. Bahasa tulis merupakan pencerminan kembali dari bahasa lisan dalam simbol-simbol tertulis. Kesalahan dan kekeliruan biasanya terdapat dalam bahasa tulis, ini disebabkan karena menulis merupakan keterampilan yang diperoleh malalui proses pembelajaran.
Tarigan dalam Hasani (2005:01) menyatakan bahwa, menulis adalah salah satu jenis keterampilan berbahasa setelah menyimak dan berbicara yang dimiliki manusia melalui pembelajaran.
Hal senada di ungkapkan Hasani (2005:02) bahwa, menulis adalah proses mengutarakan pikiran, perasaan, pengindraan, khayalan, kemauan, keyakinan, dan pengalaman yang disusun dengan lambang-lambang grafik secara tertulis untuk tujuan komunikasi.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa hanya manusia yang mampu mengungkapkan ide, pikiran, gaagasan, keinginan, pengalaman dan sebagainya, kedalam bahasa tulis atau tulisan. Keterampilan menulis adalah keterampilan yang mekanistis, keterampilan ini tidak mungkin dikuasai hanya melalui teori saja.



Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif artinya metode yang digunakan untuk mengungkapkan atau menggambarkan kejadian yang terjadi pada masa sekarang. Dalam hal ini metode deskriptif digunakan untuk memaparkan penempatan tanda baca yang tepat juga kesalahan dan kekeliruan penggunaan tanda baca dalam artikel di Koran Radar Banten.
Hasil dan Pembahasan

Setelah diadakan analisa terhadap dua artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU dan Menunggu Golkar Menjadi Oposisi diperoleh hasil sebagai berikut:
terdapat tiga kesalahan dalam artikel Kekalahan Elite Struktural NU yaitu, kesalahan tanda titik (.), kesalahan tanda hubung (-), dan kesalahan tanda Tanya (?), sedangkan pada artikel Menunggu Golkar Menjadi Oposisi tidak terdapat kesalahan tanda baca. Berikut ini adalah pembahasan mengenai kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam artikel Kekalahan Elite Struktural NU:

Kesalahan Tanda Titik
Dalam artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU terdapat beberapa kesalahan yaitu dalam paragraf Ke-2, 3, dan 6, contohnya pada penggalan kalimat berikut:
”… ketua umum PBNU KH Hasyim Muzadi….

Dalam buku “ KOMPOSISI ” yang di tulis Keraf (1971:15), tentang penggunaan tanda titik pada butir kedua, di katakan bahwa tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat, atau ungkapan yang sudah lazim.
Dengan memperhatikan pendapat tersebut maka tanda titik perlu digunakan di akhir singkatan gelar “ KH ” menjadi :
“…ketua umum PB NU KH. Hasyim Muzadi…


Kesalahan Tanda Hubung
Dalam artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU terdapat satu kesalahan pemakian tanda hubung (-) dalam paragraf Ke-2 pada kalimat berikut :
“…mendebatkan wacana boleh tidaknya mereka terlibat dalam politik praktis-,”

Menurut Keraf (1971:25) tanda hubung dipakai untuk memperjelas hubungan antara bagian kata atau ungkapan; tanda hubung dipakai untuk menyambung bagian-bagian dari kata ulang; tanda hubung dipakai untuk merangkaikan: Se- dan Ke-.
Jadi penggunaan tanda hubung di akhir kalimat di atas seharusnya tidak perlu terjadi, karena tidak ada aturan dan keadaannya.

Kesalahan Tanda Tanya
Pada artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU terdapat satu kesalahan penggunaan tanda tanya yaitu dalam paragraf 13 pada kalimat berikut:
“… apalagi jika tanpa khilah 26 ?”

Menurut keraf (1971:24) tanda tanya digunakan untuk pertanyaan langsung; untuk menyatakan keragu-raguan atau ketidak tentuan; dan kadang digunakan untuk menggantikan bentuk sarkastis. Sebenarnya pada kalimat di atas bukanlah suatu pertanyaan langsung, jika tanda tanya tersebut untuk menyatakan keragu-raguan maka tempatkanlah tanda kurung (?).


Simpulan

berdasarkan hasil analisis terhadap dua artikel di Koran Radar Banten, edisi Selasa 14 Juli 2009 artikel di dalamnya cukup bagus dan menarik, hanya saja masih terdapat kesalahan penggunaan dan penempatan tanda baca yaitu, pada artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU, terdapat kesalahan tanda titik, tanda Tanya, dan tanda penghubung. Tetapi secara materi artikel tersebut sudah bagus dan relevan untuk dibaca. Karena keterbatasan waktu penulis memohon maaf apabila analisis yang dilakukan dalam artikel ini hanya pada dua artikel.



Pustaka Acuan

Keraf, Goris. 1971. KOMPOSISI. Flores : ARNOLDUS
Hasani, Aceng. 2005. Ihwal Menulis. Serang : UNTIRTA PRESS
Budi Santoso, Kusno. 1990. Problematika Bahasa Indonesia. Jakarta: RINEKA CIPTA
Firmansyah, Dodi. 2006. Jurnal litura Volume 1. Serang : Uuniversitas Sultan Ageng Tirtayasa.


Tentang Penulis

Penulis adalah mahasiswa UNTIRTA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Prodi DIKSATRASIA dan aktif sebagai tim musikalisasi puisi SERENADA