Catatan Materi Bahasa Indonesia

Catatan Materi Bahasa Indonesia

Jumat, 15 Oktober 2010

Kajian Semiotik Pada Pusi Iman Abda

Kajian Semiotik Pada Pusi Iman Abda Dalam Antologi “Jalan Merah Saga”

Diajukan untuk memenuhi tugas Akhir mata kuliah kajian puisi




Deskripi Teori

Karya Sastra Sebagai Suatu Teks
Objek ilmu sastra adalah sekelompok teks tertentu. Dapat dikatakan bahwa seharusnya ilmu sastra adalah cabang dari ilmu teks pada umumnya. Akan tetapi, ilmu ini baru dikembangkan sedangkan ilmu sastra mengandalkan tradisi yang lama sehingga lebih maju dalam penelitiannya. Namun dalam praktiknya kini malah sebaliknya dalam ilmu sastra timbul permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan ilmu teks. Jadi penelitian sastra tidak dapat lepas dari ilmu teks dan menjadi satu kesatuan.
Dalam ilmu sastra kita membatasi pada teks tertulis padahal secara teoritis ungkapan bahasa lisan pun termasuk dalam satu kesatuan teks. Apa yang dimaksud dengan kesatuan? Pradotokusumo (2005:34) membatasi kesatuan menurut tiga aspek sebegai berikut:
• Kesatuan Pragmatik
• Kesatuan Sintaktik
• Kesatuan Semantik
Pragmatik Ialah bagaimana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosiala tertentu. Teks merupakan satukesatuan bilamana ungkapan bahasa oleh para peserta komunikasi dialami sebagai suatu kesatuan yang bulat. Adapun yang dimaksud pragmatik yaitu pengetahuan mengenai perbuatan yang kita lakukan bilamana bahasa yang digunakan dalam suatu konteks, Partini sardjono. P (2005:34). Berbeda dengan pendapat di atas menurut Jacob L. Mey dalam Rahardi (2003:15) pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari pemaiakian atau penggunaan bahasa, yang pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatar belakanginya.
Secara sintaktik sebuah teks harus memperlihatkan keberuntunan dan harus relevan. Hal ini antara lian rampak bila unsur-unsur penunjuk secara konsisten dipergunakan. Definisi sintaksis itu sendiri menurut kridalaksana (2008:223) 1) pengaturan hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Satuan terkecil dalam bidang ini adalah kata; 2) subsistem bahasa yang mencakup hal tersebut (sering dianggap bagian dari gramatika; bgian lain ialah morfologi) 3) cabang linguistic yang mempelajari hal tersebut.
Kesatuan semantik. yang dituntut sebuah teks adalah tema global yang melingkupi semua unsur. Tema menunjukan gagasan dasar dan tujuan utama penulisan sebuah teks. Tapi bukan hanya sekedar itu ilmu semantik juga membahas makna dari teks tersebut. Menurut Kridalaksana (2008:216) 1) semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubnungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; 2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa dan bahasa pada umumnya.

analisis maksim kerjasama grice dalam cerpen

Analisis Maksim Kerja Sama Grice Dalam Cerpen “Ibu Pergi Ke Laut” Karya Puthut EA

Pendahuluan
Latar belakang masalah
Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berhubungan dan berkomunikasi. Artinya dengan bahasa manusia dapat menyampaikan atau menerima pesan berita, informasi, dari atau kepada orang lain. Bahasa juga memungkinkan manusia untuk belajar, karena ilmu atau tingkat pengetahuan seseorang berbeda-beda. Artinya setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan dalam segala hal. Dari kekurangan tersebutlah maka manusia berusaha menutupi kekurangannya dengan cara belajar kepada orang lain yang lebih pandai. Bahasa juga digunakan manusia untuk brtukar pengalaman dengan sesamannya karena setiap manusia pasti mempunyai pengalaman yang berbeda-beda.
Dari uraian di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya bahasa sebagai sarana komunikasi dan juga sarana berfikir, terutama dalam hal bertukar ilmu pengetahuan dan pengalaman. Untuk mempermudah komunikasi maka dibutuhkan pengetahuan tentang bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dan ilmu yang mempelajari tentang pemakaian bahasa dalam konteks situasi tutur adalah pragmatik. Pragmatic sesungguhnya mengkaji maksud penutur dalam konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu. Dapat dikatakan juga ilmu ini sejajar dengan semantik hanya saja jika semantic mengkaji makna satuan lingual secara internal sedangkan pragmatik mengkaji secara eksternal (terikat konteks).
Dengan menggunakan ilmu pragmatik ini penulis mencoba mengkaji maksud tuturan yang terjadi dalam sebuah teks berupa cerpen, terbitan kompas tahun 2005 karya Puthut E.A yang berjudul “Ibu pergi ke laut”





Deskripsi Teori

Seperti yang sudah disebutkan di atas pragmatik adalah ilmu yang mengkaji maksud tuturan dalam sebuah konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu. Menurut Jacob L. Mey dalam Rahardi (2003:15) pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari pemaiakian atau penggunaan bahasa, yang pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya.
Menurut Parker dalam Rahardi (2003:14) pragmatik adalah cabang ilmu bagsa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Maksudnya semua studi tentang pragmatic harus dikaiteratkan dengan konteks situasi tutur tersebut.
Karena cakupan pembahasan pragmatik cukup luas maka penulis memfokuskan pada salah satu pembahsan dalam pragmatik yaitu maksim-maksim kerja sama Grice. Maksim-maksim ini menjelaskan bahwa agar proses interaksi dan komunikasi antara si penurtur dan mitra tutur dapat berjalan lancar, maka masing-masing harus dapat bekerjasama secara baik dan optimal. Prinsip kerja sama Grice seluruhnya meliputi empat macam maksim yaitu sebagai berikut.

1. Maksim Kuantitas
Menurut Rahardi (2003:27) dalam maksim kuantitas dijelaskan bawha seorang penutur diharapkan dapat memberikan pesan atau informasi yang sungguh-sungguh memadai, disrasa cukup, dan dipandang seinformatif mungkin kepada si mitra tutur. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa informasi atau pesan yang diberikan oleh penutur atau mitra tutur tidak boleh berlebihan dan harus sesuai dengan apa yang ditanyakan atau dibutuhkan mitra tutur. Bagian bagian yang sama sekali tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan bagi mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grice.

2. Maksim Kualitas
Maksim kualitas adalah msksim yang menjelaskan bahwa peserta tuturan harus memberikan informasi yang sesuai dengan fakta. Dengan menerapkan maksim kulitas dalam prinsip kerjasama Grice seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang benar-benar nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya dalam aktifitas bertutur sapa, Rahardi (2003:31). Tuturan yang tidak didasrkan pada kenyataan dan tidak ada dukungan data yang jelas, konkrit, dan serta tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka dianggap melanggar maksim kualitas.

3. Maksim Relevansi
Dalam maksim relevansi jelas dikatakan bahwa agar dapat terjalin kerjasama yang benar-benar baik antara penutuir dan mitra tutur masing-masing hendaklah memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan, Rahardi (2003:31). Sebuah tuturan dapat dikatakan melaksanakan maksim relevansi apabila tuturan dengan respons yang diberikan sesuai.

4. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama Grice mengharuskanagar setiap peserta pertuturan selalu bertutur sapa secara langsung, secara jelas dan isi pesan tidak boleh ambigu atau kabur isinya,Rahardi (2003:31).












Pembahasan

Dalam cerpen ini ada beberapa percakapan yang terjadi antara seorang ayah dengan anaknya. Penulis mencoba menganalisis maksim-maksim kerjasama grice dalam percakapan tersebut, diawali dengan percakapan pada awal cerita.
1) “Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap sayang padaku.”
Dalam kutipan di atas tuturan disampaikan oleh seorang anak (tokoh aku dalam cerpen) yang menanyakan tentang ibunya kepada ayahnya. Tuturan ini muncul ketika anak tersebut merasa rindu terhadap ibunya yang telah lama pergi dan tak kunjung pulang. Tuturan dalam kutipan di atas sudah merupakan bentuk kebahasaan yang jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan pertuturan tersebut termasuk kedalam maksim kualitas karena menyatakan informasi sesuai dengan fakta dan juga termasuk kedalam maksim kuantitas karena penutur dan mitra tutur memberikan informasi yang memadai sesuai apa yang dibutuhkan.

2) “Aku bertanya dari mana air sebanyak itu? Nenek bilang air itu datang dari laut. Lalu aku teringat ibu.”
Dalam kutipan di atas tuturan disampaikan oleh tokoh aku dalam cerpen kepada neneknya ketika sedang menonton tayangan televisi, yang menanyakan tentang berita di dalamnya. Tuturan di atas sudah merupakan bentuk kebahasaan yang jelas dan berterima. Tuturan di atas telah melaksanakan maksim kualitas karena menyatakan informasi sesuai dengan fakta dan juga termasuk kedalam maksim kuantitas karena penutur dan mitra tutur memberikan informasi yang memadai sesuai apa yang dibutuhkan. Tuturan itu juga sudah menjalankn maksim relevansi karena informasi yang diujarkan sesai dengan yang ditanyakan.

3) Ibu tahu aku lebih senang air daripada udara. Aku lebih senang ikan daripada burung Dulu ibu sempat bertanya mengapa? Aku menjawab, habis enak kalau main air. Dan ikan-ikan itu terlihat lebih segar dibanding burung. Lagi pula, bukankah burung bisa terjatuh ketika terbang. Sedangkan ikan tidak mungkin jatuh. Aku pernah beberapa kali jatuh. Dan jatuh itu sakit.
Dalam kutipan di atas tuturan disampaikan oleh tokoh ibu kapada tokoh aku dalam cerpen. Pertuturan tersebut dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas karena mitra tutur memberka informasi yang diberikan terlalu panjang dan berlebihan sehingga tidak menjadi tuturan yang efisien dan efektif. Namun tuturan tersebut sudah melaksanakan maksim kualitas karena menyatakan informasi yang sebenarnya dan sesuai dengan fakta sehingga memungkinkan terjadinya kerjasama antara penutur dan mitra tutur.
4) Aku pernah bertanya pada ayah, apakah di laut ibu menjadi ikan? Ayah bilang tidak. Ibu tetap menjadi ibu. Tapi berenang terus dan hidup di air bukankah akan membuat ibu capek? Ayah bilang tidak sebab ibu orang hebat.
Tuturan di atas disampaiakn oleh seorang anak kepada ayahnya. dalam tuturan di atas dapat dikatakan melanggar maksim kualitas karena jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan namun tuturan di atas telah menjalankan maksim kuantitas dan maksim relavansi sehingga terjadi komunikasi yang baik.

5) Kemudian ia bertanya, di mana sekarang ibuku berada? Aku bilang ibu ada di laut. Tuturan di atas disampaikan oleh tokoh Mbak Memi kepada tokoh aku. dalam tuturan di atas dapat dikatakan melanggar maksim kualitas karena jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan karena seseorang tidak mungkin dapat hidup di dalam laut. namun tuturan di atas telah menjalankan maksim kuantitas dan maksim relavansi sehingga terjadi komunikasi yang baik.

6) “Dinda, siapa nama lengkap ibumu?”
Lalu aku minta kepada Mbak Memi agar aku saja yang menulis nama lengkap ibuku. Tuturan di atas disampaikan oleh tokoh Mbak Memi kepada tokoh Aku dalam cerpen. Tuturan di atas dapat dikatakan melanggar maksim relevansi karena jawaban tidak memberikan jawaban hanya berupa tindakan yang tidaksesuai dengan apa yang diharapkan.

7) Mbak Memi kemudian membungkus lagi amplop itu dengan sebuah plastik bening. Ia bilang supaya tidak basah. Aku bertanya, kenapa takut basah? Bukankah akan diantar Pak Pos? Mbak Memi menggelengkan kepala. Ia bilang tidak mungkin lewat Pak Pos.Aku kembali merasa sedih. Lalu lewat siapa? Mbak Memi menjawab lewat kapal-kapalan. Lewat kapal-kapalan? Kenapa begitu? Mbak Memi lalu menjelaskan. Menurut gurunya, semua sungai itu mengalir ke laut.
Tuturan dalam kutipan di atas dilakukan oleh Mak Memi dan tokoh Aku , Tuturan dalam kutipan di atas sudah merupakan bentuk kebahasaan yang jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan pertuturan tersebut termasuk kedalam maksim kualitas karena menyatakan informasi sesuai dengan fakta. Namun dikatakan melanggar maksim kuantitas karena mitra tutur memberka informasi yang diberikan terlalu panjang dan berlebihan sehingga tidak menjadi tuturan yang efisien dan efektif.

8) “Doanya apa ya, Mbak?”
“Kamu bisa Al Fatihah?”
Tuturan di atas disampaikan ketika tokoh aku dan Mbak Memi ingin melepas kapal-kapalan yang di buatnya ke dalam sungai. Tuturan di atas dikatakan melanggar maksim kualitas dan maksim relevansi karena pertanyaan mitra tutur tidak dijawan sesuai dengan pertanyaannya tetapi mitra tutur malah yang balik bertanya kepada penutur.

9) Mbak, sebelum iyyakana’budu, apa ya?”
“Malikiyaumiddin, Dinda….”
10) “Mbak, kalau ibu membalas suratku lewat apa?”
Mbak Memi diam. Kemudian ia menjawab, “Lewat hujan, Dinda.”
11) “Kenapa lewat hujan?”
“Kata bu guru, hujan itu berasal dari air yang menguap. Air di laut, di danau, di sungai menguap karena panas matahari. Uap itu lalu berkumpul menjadi awan, dan kemudian turun menjadi hujan.”
12) Dinda mau makan ikan apa?”
Aku menggelengkan kepala. Ayah heran, kemudian ia bertanya, “Kenapa, Dinda?”
“Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu kehilangan banyak teman di laut.”
Pada tuturan 9) di atas dikatakan telah melaksanakan maksim kuantitas dan kualitas, karena nformasi tuturan yang diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan tidak berlebihan. Sedangkan pada tuturan 10) dikatakan melanggar maksim kualitas karena informasi yang diberikan tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak dapat dipertanggungjawabkan; pada tuturan 11) dikatakan melanggar maksim kuantitas karena mitra tutur memberkan informasi yang diberikan terlalu panjang dan berlebihan sehingga tidak menjadi tuturan yang efisien dan efektif sehingga membingungkan. Dalam tuturan 12) di atas dikatakan melaksanakan maksim relevasni namun melanggar maskim kualitas












Kesimpulan

Dalam cerpen puthut EA yang berjudul “Ibu Pergi ke Laut” dalam ujaran atau tuturan tokoh didalamnya hampir seluruhnya telah menggunakan maksim-maksim kerja sama Grice sihingga tuturan dapat dipahami oleh mitra tutur. Namun masih ada beberapa tuturan yang melanggar terutama melanggar maksim kuantitas karena informasi yang diberikan terlalu banyak dan berlebihan misalnya pada tuturan 3), 7) dan 11).























Pustaka acuan
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan Dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma.
WWW. kumpulancerpenkompas.wordpress.com



























IBU PERGI KE LAUT
Puthut E.A (Cerpen Kompas 2005)

Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap sayang padaku. Tapi kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang anak sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah ini? Sepasang mata ayah kemudian berair.
Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka bisa pergi berhari-hari. Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat ia mengepak barang di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah besar, pakaiannya banyak. Pagi sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga mencium ayah, kemudian ayah mengantar ibu. Enak jadi orang yang sudah besar, bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus terus berada di rumah.
Sewaktu ibu mengepak barang, seperti biasanya aku bertanya apakah ia akan pergi ke Jakarta? Ibu menggeleng. Apakah ke Surabaya? Apakah akan ke Medan? Apakah akan ke Bali? Ibu juga menggelengkan kepala. Lalu aku bertanya, terus pergi ke mana? Ibu bilang pergi agak jauh, ibu mau pergi ke Aceh. Aku bingung. Di manakah Aceh itu? Lalu ibu menjelaskan bahwa untuk pergi ke sana kita harus meyeberangi laut. Ibu akan naik kapal? Ibu kembali menggelengkan kepala. Ia menjawab akan naik pesawat terbang. Wah, kenapa tidak naik kapal? Kan enak, bisa melihat banyak air. Ibu hanya tersenyum dan mencium pipiku. Ada saatnya aku tidak suka dicium, apalagi jika ciuman itu meninggalkan rasa panas di pipi. Kenapa banyak orang mencium pipiku, tetapi terasa sangat panas?
Tapi lama ibu tidak juga pulang, setiap kali aku bertanya di mana ibu, ayah menjawab, ibu pergi ke laut. Enak jadi orang yang sudah besar, setelah pergi ke sebuah tempat bisa langsung pergi ke tempat yang lain. Setelah pergi ke Aceh, bisa pergi ke laut.
Semua orang tiba-tiba terlihat semakin sayang sama aku. Tetangga-tetanggaku, tante-tanteku, semua terlihat semakin sayang. Nenek dan kakekku bahkan perlu tinggal berminggu-minggu di rumahku setelah ibu pergi ke laut. Bergantian mereka mengelus-elus rambut dan memelukku, apalagi ketika menonton televisi. Di televisi, aku melihat banyak bangunan yang rusak. Aku melihat air yang berlimpah menghanyutkan banyak orang dan barang. Aku senang sekali dengan air. Aku bertanya dari mana air sebanyak itu? Nenek bilang air itu datang dari laut. Lalu aku teringat ibu. Bukankah ibu ada di laut? Nenek dan kakekku lalu terdiam. Mata mereka berair.
Ibu tahu aku lebih senang air daripada udara. Aku lebih senang ikan daripada burung. Dulu ibu sempat bertanya mengapa? Aku menjawab, habis enak kalau main air. Dan ikan-ikan itu terlihat lebih segar dibanding burung. Lagi pula, bukankah burung bisa terjatuh ketika terbang? Sedangkan ikan tidak mungkin jatuh. Aku pernah beberapa kali jatuh. Dan jatuh itu sakit.
Ibu pintar berenang. Aku sering diajaknya pergi ke kolam renang. Di kolam renang, ibu bisa seperti seekor ikan yang besar. Ia berenang ke sana kemari. Sering pula aku menumpang di punggungnya. Dan aku tahu alangkah enaknya menjadi ikan. Aku ingin cepat bisa berenang. Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin menjadi ikan.
Aku pernah bertanya pada ayah, apakah di laut ibu menjadi ikan? Ayah bilang tidak. Ibu tetap menjadi ibu. Tapi berenang terus dan hidup di air bukankah akan membuat ibu capek? Ayah bilang tidak sebab ibu orang hebat. Aku senang sekali. Ibu memang hebat. Dan di laut, tentu ibu akan seperti yang pernah diceritakannya. Ibu pernah bercerita kalau ada ikan-ikan besar yang baik hati di laut. Ikan-ikan itu banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Ibu tentu akan banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Mungkin ia menjadi pemimpin para ikan yang senang menolong itu. Kalau aku sudah bilang seperti itu ke ayah, ia kelihatan bangga, tapi bibirnya gemetar dan matanya kembali berair. Ayah kemudian bilang, makanya aku tidak usah menunggu ibu pulang sebab di laut ibu sedang menunaikan tugas- tugas mulia menyelamatkan kapal- kapal yang akan tenggelam. Aku mengangguk mengerti, dan ayah memelukku. Ada saatnya aku tidak suka dipeluk, apalagi jika pelukan itu membuat tubuhku terasa sakit.
Sebetulnya aku sangat rindu pada ibu. Aku rindu cerita-ceritanya, aku rindu diajak pergi ke kolam renang, aku pengin dibuatkan kue-kue yang enak. Tapi kalau kemudian aku ingat bahwa ibu harus memimpin ikan-ikan yang baik hati, aku hanya bisa diam. Pasti ibu kasihan melihat kapal-kapal yang akan tenggelam. Di dalam kapal-kapal itu pasti banyak anak kecil seusiaku yang belum bisa berenang. Ya, ibu harus menyelamatkan mereka.
Tapi, setidaknya aku berharap ibu akan meneleponku seperti yang dulu-dulu jika ia pergi dalam waktu yang cukup lama. Mungkin di laut tidak ada telepon. Kalau tidak ada telepon, setidaknya ibuku bisa menitip surat untukku lewat kapal-kapal yang telah diselamatkannya. Atau jangan-jangan ibu terlalu sibuk? Mungkin aku yang harus mengiriminya surat terlebih dahulu. Tapi aku tidak bisa menulis surat. Lalu aku teringat Mbak Memi.
Siang itu aku menunggu Mbak Memi pulang dari sekolah. Ia tinggal di depan rumah kami. Ia sudah sekolah SD dan temannya banyak. Aku sudah sering bilang ke ibu kalau aku pengin juga sekolah. Ibu selalu tersenyum jika aku bilang seperti itu. Katanya, sebentar lagi aku pasti akan sekolah. Ketika dari jauh aku melihat Mbak Memi pulang sekolah, aku langsung bilang ke Bi Nah kalau aku akan main dengan Mbak Memi.
Mbak Memi orangnya baik. Ia sering mengajak dan menemaniku bermain. Dulu, ibu juga sering mengajak Mbak Memi pergi ke kolam renang. Kalau ibu habis bepergian, ia juga sering memberi oleh-oleh untuk Mbak Memi. Tapi Mbak Memi terlihat bingung ketika aku bilang bahwa aku ingin dia menuliskan surat untuk ibuku. Ia bilang, kalau aku ingin menulis surat untuk ibu, aku harus tahu alamatnya. Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan alamat. Kemudian ia bertanya, di mana sekarang ibuku berada? Aku bilang ibu ada di laut. Mbak Memi diam. Tak lama kemudian ia terlihat tersenyum. “Dinda, aku tahu bagaimana cara mengirim surat untuk ibumu.”
Ia kemudian mengambil sehelai kertas, dan bertanya kepadaku apa yang ingin kusampaikan pada ibuku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat rindu pada ibu, tapi aku tahu kalau ibu mempunyai tugas yang berat, yaitu menyelamatkan kapal-kapal yang akan tenggelam. Mbak Memi menuliskan pesanku. Ia kemudian bertanya, “Ada lagi yang lain?” Aku menggelengkan kepala.
Kemudian kulihat Mbak Memi kembali bingung. Ia kemudian bertanya lagi, “Dinda, kamu bisa tanda tangan?” Aku bingung. Aku menggelengkan kepala. “Menurut guruku, kalau kita mengirim surat, lebih baik ada tanda tangannya. Biar ibumu tahu kalau yang mengirim surat ini benar-benar kamu. Bukan surat yang palsu.” Aku kembali menggelengkan kepala. Entah kenapa aku merasa sedih. Enak betul kalau sudah sekolah, diajari membuat surat dan diajari membuat tanda tangan.
“Aku tahu!” Tiba-tiba Mbak Memi terlihat senang. Lalu ia mengoleskan penanya ke jempol tanganku dan memintaku untuk menempelkan di kertas surat yang baru saja ditulisnya. “Dinda, ini namanya cap jempol. Itu sama dengan tanda tangan.” Aku senang sekali. “Dinda, menurutku lebih baik kamu juga memberi fotomu untuk ibumu. Mungkin ia membutuhkan fotomu kalau ia kangen sama kamu.”
Aku tersentak. Dengan segera aku balik ke rumah dan mengambil beberapa lembar foto yang ada di album foto. Tapi, waktu aku bawa semua ke rumah Mbak Memi, ia bilang cukup satu saja. Lalu kupilih satu foto sewaktu aku digendong ayah. Bukankah ibu juga butuh foto ayah jika ia kangen?
Fotoku itu dimasukkan ke amplop dan dilem kuat oleh Mbak Memi. “Dinda, siapa nama lengkap ibumu?” Kali ini aku sangat senang. Aku hafal nama lengkapku, nama lengkap ayahku, juga nama lengkap ibuku. Aku juga bisa menuliskan nama-nama itu. Lalu aku minta kepada Mbak Memi agar aku saja yang menulis nama lengkap ibuku. Selesai menulis nama lengkap ibuku, aku mengembalikan amplop itu ke Mbak Memi karena ia yang harus menulis alamat ibuku. Selesai menuliskannya, Mbak Memi memberikannya lagi ke aku sambil menunjukkan di mana aku harus menuliskan namaku sendiri. Selesai sudah. Kini Mbak Memi membacakannya untukku. “Untuk Ibu Maya Sophia di laut. Dari Dinda Sophia Zaki.” Aku senang sekali. Apalagi sewaktu Mbak Memi membaca nama lengkapku. Namaku Dinda, Sophia nama ibuku, dan Zaki nama ayahku.
Mbak Memi kemudian membungkus lagi amplop itu dengan sebuah plastik bening. Ia bilang supaya tidak basah. Aku bertanya, kenapa takut basah? Bukankah akan diantar Pak Pos? Mbak Memi menggelengkan kepala. Ia bilang tidak mungkin lewat Pak Pos. Aku kembali merasa sedih. Lalu lewat siapa? Mbak Memi menjawab lewat kapal-kapalan. Lewat kapal-kapalan? Kenapa begitu?
Mbak Memi lalu menjelaskan. Menurut gurunya, semua sungai itu mengalir ke laut. Jadi, nanti kami akan membuat sebuah kapal dari kertas yang dilapisi plastik untuk membawa suratku pada ibu. Aku lega. Dan tidak lama kemudian Mbak Memi sudah sibuk membuat kapal kertas yang cukup besar dari bahan kertas kalender. Ia melapisi kapal-kapalan itu dengan plastik, lalu merekatkan amplop yang berisi suratku di dalamnya. Enak sekali menjadi anak sekolah, bisa membuat apa saja dan tahu banyak hal.
Mbak Memi mengeluarkan sepeda mininya. Ia kemudian menemui Bi Nah untuk meminta izin pergi bersamaku naik sepeda. Dengan membawa kapal kertas yang berisi suratku, aku membonceng Mbak Memi menuju sungai.
Di dekat gapura yang akan menuju rumahku, ada sungai kecil. Sekalipun aku senang sekali melihat sungai itu, tapi aku tidak pernah main di sungai. Kali ini, aku merasa semakin senang dengan sungai kecil ini. Lewat sungai ini aku bisa berhubungan dengan ibuku. Sebelum kapal kami luncurkan di air, Mbak Memi memintaku berdoa agar kapal itu bisa selamat membawa suratku untuk ibu. “Doanya apa ya, Mbak?”
“Kamu bisa Al Fatihah?”
Aku mengangguk ragu. Ibuku sering mengajari aku menghafal Al Fatihah, tapi aku sering lupa. Al Fatihah terlalu panjang. Lebih panjang dibanding doa sebelum tidur atau doa sebelum makan. Lalu aku berusaha mengingatnya. Dengan malu, akhirnya aku bertanya ke Mbak Memi, “Mbak, sebelum iyyakana’budu, apa ya?”
“Malikiyaumiddin, Dinda….”
Mbak Memi kemudian mengajakku sama-sama membaca Al Fatihah. Setelah selesai, kapal kami turunkan ke air. Kapal melaju dengan tenang. Aku yakin kapal itu akan sampai ke laut, dan ibuku pasti senang menerimanya.
Sebelum kami pergi, aku berkata kepada Mbak Memi. “Mbak, kalau ibu membalas suratku lewat apa?”
Mbak Memi diam. Kemudian ia menjawab, “Lewat hujan, Dinda.”
“Kenapa lewat hujan?”
“Kata bu guru, hujan itu berasal dari air yang menguap. Air di laut, di danau, di sungai menguap karena panas matahari. Uap itu lalu berkumpul menjadi awan, dan kemudian turun menjadi hujan.”
Aku bingung. Tapi itu tidak penting. “Lalu surat dari ibuku ikut turun bersama hujan, ya?”
Mbak Memi kembali diam. “Mungkin, Dinda. Tapi coba kamu tanya pada ayahmu nanti.”
Aku tersenyum lega. Aku membayangkan alangkah indahnya. Surat dari ibuku naik ke langit, lalu ada di dalam awan, dan kemudian turun bersama hujan ke rumahku. Mungkin akan tertempel di daun, mungkin akan tertempel di jendela, mungkin juga ada di pagar rumah.
Sesampai di rumah Mbak Memi, sebelum aku pulang, aku sempat bilang padanya. “Mbak, kalau hujannya besok turun waktu ayah kerja di kantor, aku dibacakan suratnya, ya?”
Mbak Memi tersenyum dan mengangguk. Aku senang sekali.
Sehabis makan malam dengan ayah, tak sabar aku menceritakan apa yang telah kulakukan tadi siang bersama Mbak Memi. Ayah mendengarkanku. Dan seperti biasanya, bibirnya terlihat gemetar, kedua matanya berair, sebelum kemudian memelukku erat. “Ayah, apakah ibu akan membalas suratku lewat hujan?”
Ayah diam. Lalu ia mengangguk pelan. Aku lega. Aku mulai membayangkan ketika hujan turun ada sehelai amplop terbungkus plastik bening yang hinggap di jendela. Ayah lalu mengantarkanku ke tempat tidur. Seperti biasanya, ayah kemudian bertanya kepadaku, aku mau diceritai apa malam ini? Semenjak ibu pergi, aku selalu meminta agar ayah bercerita kepadaku tentang laut. Ayah kemudian bercerita tentang sebuah kerajaan di bawah laut. Kerajaan itu indah sekali. “Ibu ada di istana itu?” Ayah mengiyakan. Lalu ia melanjutkan ceritanya, hingga kemudian suaranya melambat. Cerita ayah masuk ke dalam mimpiku. Di sana aku melihat ibu sedang bercanda dengan ikan-ikan besar yang baik hati. Dan aku ikut bermain bersama mereka. Ibuku, seperti biasanya, membawaku berenang di atas punggungnya.
Aku terjaga ketika wajahku terasa basah. Aku hanya bermimpi. Aku merasa ayahku sedang menciumi wajahku. Samar kudengar ia berkata, “Maya… kamu tahu aku dan Dinda tidak pernah baik- baik saja tanpa kamu….” Lalu kurasakan suara ayah beralih menjadi suara tangis. Air matanya jatuh ke wajahku. Ia mengelap wajahku dengan rasa sayang. Aku tetap terdiam tanpa membuka mata. Tempat tidurku terguncang hebat. Tangis ayah terasa semakin kencang, dan lamat pula aku mendengar, “Maya, apa yang harus kukatakan kepada Dinda?”
Lalu kulihat lagi ibu bersama ikan-ikan sedang menyelamatkan sebuah kapal. Di kapal itu, aku melihat ayah.
Pagi harinya, ketika aku bangun tidur, aku kaget dan berteriak girang. Ada amplop dibungkus plastik bening di jendela kamarku. Dengan segera aku keluar rumah dan mengambil amplop itu, lalu sibuk mencari ayah, semoga ia belum berangkat kerja. Ternyata ayah masih mandi. “Ayah, cepat! Ada surat balasan dari ibu! Semalam hujan ya?!”
Begitu keluar dari kamar mandi, ayah tersenyum. “Iya, Dinda, semalam hujan. Sekarang kamu harus mandi dulu, sarapan pagi bersama ayah, lalu kita akan baca bareng-bareng surat dari ibu.”
Selesai memandikan dan menyuapiku, ayah membacakan surat dari ibu. Dalam surat itu, ibu bilang bahwa ia telah menerima suratku. Dan ia berpesan agar aku tidak usah mengirim lagi surat karena ibu bisa melihatku dengan baik dari laut. Aku senang sekaligus merasa sedih. Senang karena ibu membalas suratku. Sedih karena ibuku tidak ingin aku mengirim lagi surat. Ayah kemudian mencium pipiku. “Dinda jangan sedih. Hari ini kita akan pergi ke laut. Kamu masih boleh mengirim sekali lagi surat ke laut. Dan kita akan bawakan bunga untuk ibu. Sekarang kamu pilih dan ambil bunga di halaman untuk ibu, biar ayah yang menulis surat. Kamu ingin menulis apa, Sayang?”
Aku melonjak girang. Aku bilang ke ayah kalau aku ingin memberi tahu ibu supaya aku masih boleh mengiriminya surat, dan aku ingin bilang bahwa aku ingin cepat sekolah supaya nanti aku bisa menulis surat sendiri. Dengan cepat aku pergi ke halaman depan, memetik sebanyak mungkin bunga untuk ibu. Aku tahu bunga-bunga yang disukai ibuku. Lalu kami berdua berangkat ke laut.
Sesampai di laut, aku senang sekali. Aku yang melempar sendiri surat yang dituliskan ayahku. Aku juga ikut ayahku menaburkan bunga-bunga yang kupilih. Setelah itu, aku bermain air laut dengan ayah. Setelah aku cukup lelah, ayah kemudian mengajakku untuk makan ikan di warung-warung makan yang ada di pantai.
“Dinda mau makan ikan apa?”
Aku menggelengkan kepala. Ayah heran, kemudian ia bertanya, “Kenapa, Dinda?”
“Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu kehilangan banyak teman di laut.”
Kulihat ayah diam. Matanya berair. Ia menangis sambil memelukku. Aku heran sekali. Ayah sekarang gampang menangis!