Catatan Materi Bahasa Indonesia

Catatan Materi Bahasa Indonesia

Minggu, 29 November 2009

analisis mimiesis berdasarkan sosoilogi sastra dalam opera kecoa

PENDAHULUAN

1. Biografi Nano Riantiarno

Bernama lengkap Noerbertus Riantiarno yang biasa dipanggil Nano, lahir di Cirebon pada 6 juni 1949. sejak tahun 1977 ia menjadi pemimpin Teater Koma, grup drama yang sampai awal 1985 telah mementaskan 46 lakon di panggung maupun di TVRI. Dengan suasana penuh musik dan nyanyi, dramanya yang telah berhasil mendatangkan banyak penonton antara lain : Opera Ikan Asin (saduran karya Bertolt Bretcht), Opera Salah Kaprah (olahan dari The Comedy of Errors karya Shakespeare). Kecuali naskah olahan karya asing, Nano juga mementaskan cerita buatannya sendiri, misalnya Rumah Kertas, Maaf, Maaf, Maaf, dan Opera Kecoa.
Diluar panggung Nano menulis scenario film, paling tidak sudah ada 17 judul yang ia buat, misalnya, dr. Siti Pertiwi, Sang Juara, Gaun Pengantin, dan Jakarta, Jakarta.untuk yang disebut terakhir, pada Festifal Film Indonesia di Ujung Pandang tahun 1978 Nano berhasil mendapatkan Piala Citra. Dramawan yang juga redaktur majalah Zaman ini memulai main drama sejak di sekolah menengah, di Cirebon kota kelahirannya pada 1964. suatu kali, untuk pementasan Caligula pemeran utamanya sakit. Ia disuruh menggantikannya selama 10 hari berlatih keras. Sejak itu ia menekuni dunia panggung dan lupa pada cita-citanya menjadi professor. Tamat SMA ia masuk Akademi Teater Nasional (ATNI) Jakarta, kemudian bergabung dalam grup Teater Populer.
Pada tahun 1975, untuk lebih mengenal kehidupan teater di berbagai tempat, Nano melakukan perjalanan keliling Indonesia.




2. Latar Belakang

Drama opera kecoa adalah salah satu karya Nano Riantiarno yang menarik untuk dikaji dan dijadikan sebagai tolak ukur betapa kerasnya perjuangan hidup kaum urban yang berada dipinggiran kota dan termarjinalkan. Drama ini mengisahka tentang orang-orang dari stasus sosial yang diwakili oleh para pelacur, waria, dan bandit kelas teri yang berjuang dan mencari penghidupan dikota besar, mereka digusur, ditembak, dan perkampungan mereka dibakar. Keadilan tidak berpihak pada mereka, mereka hanya dianggap kecoa yang menjijkan.
Naskah opera kecoa dipilih karena sangat menarik dan isinya relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Drama ini juga banyak menuai kontroversi dan sering dicekal dalam pementasannya. Hal inilah yang semakin membuat penulis penasaran untuk menelaahnya, apakah drama ini benar-benar mewakili kaum urban yang terpinggirkan.













PEMBAHASAN


1.PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Nyoman Kutha Ratna memberikan sejumlah definisi mengenai definisi sosiologi sastra, di antaranya adalah:
1.Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
2.Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandng di dalamnya.
3.Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya.
4.Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepensi antara sastra dengan masyarakat.

Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya.

2.DRAMA SEBAGAI CERMINAN SOSIAL

Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Pandangan Plato dan Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh George Lukacs seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31 : google). Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27: google).

3.OPERA KECOA SEBAGAI CERMINAN SOISIAL

Jika ditelaah dari pandangan para ahli di atas drama opera kecoa merupakan sebuah mimesis atau cerminan dari suatu masyarakat kelas bawah yang termarjialkan, kerasnya perjuangan hidup masyarakat kelas bawah dan diskriminasi pemerintah terhadap kaum minoritas seperti para waria ini dapat dilihat dalam berbagai usur di dalamnya, diantaranya adalah:

a)Mimesis Dalam Tokoh

Karakteristik-karakteristik dalam naskah drama opera kecoa mencerminkan sikap,prilaku dan perwatakan masyarakat pinggiran kota metropolitan yang digambarkan menempati daerah Slum (Perkampungan kumuh pinggiran kota). Pelacur seperti tokoh Tarsih, Tuminah, Kasijah dan yang lainnya juga preman kelas teri seperti tokoh Kumis dan Bleki merupakan gambaran stastus sosial rendah masyarakat pinggiran yang tersisihkan, berjuang demi sesuap nasi yang rela menjual kehormatan dan kurang mendapat perhatian dan pembinaan dari pemerintah sehingga siklus kehidupan mereka hanya berputar disekitar itu. Penamaan tokoh juga mencerminkan sosio kultural seperti pada nama para tokoh di atas mencerminkan nama-nama orang desa bukan kultur perkotaan.
Nano Riantiarno sebagai pengarang drama ini mencoba menggambarkan bagaimana kerasnya perjuangan hidup dan diskriminasi yang diterima oleh sekolompok komunitas masyarakat kecil yang berprofesi sebagai pelacur dan waria yang dianggap sebagai kecoa yang mengotori tempat-tempat yang ada di kota. Gambaran kehidupan para pelacur dan para pejabat nakal tak bermoral dalam cerita drama ini sampai saat ini masih sering terjadi.
Secara kolektifitas tokoh berfungsi sebagai penanda sosio kultural, misalnya tokoh julini dan roima juga para pelacur tadi merupakan kaum urban yang mencari penghidupan dan menhadu nasib di kota. Tokoh pejabat dalam naskah drama ini mencerminkan arogansi pemerintahan yang bertindak semaunya dan tidak memperdulikan keadilan serta tidak mempunyai empati terhadap masyarakat .

b)Mimesis Dalam Stage Direction

Cerminan kemasyarakatan dalam stage direction lebih jelas terlihat karena menggambarkan latar suasana tempat dimana masyarakat itu tinggal dan berjuang hidup. Stage direction digambarkan dengan detail sehingga menerjemahkan dalam visual panggung, misalnya komplek pelacuran, perkampungan kumuh yang penuh gubuk-gubuk, yang sangat jelas terlihat bahwa itu menggambarkan tempat tinggal masyarakat ekonomi rendah bukan konglomerat atau tempat tinggal pejabat.

c)Mimesis Dalam Dialog

Ragam dialog yang terdapat dalam naskah drama ini merupakan ujaran santai, dan tidak bersifat formal, bahasa yang digunakan benyak terdapat campur kode seperti pada dialog berikut:
Pejabat : yang penting dana kredit itu akan keluar dengan segera.
Tamu : Pasti.... pasti... one for me, one for you. Masing-masing lima persen.

Dalam dilog di atas terdapat campur kode pada perkataan penutur (Tamu) yaitu menggabungkan bahasa inggris dengan bahasa indonesia tapi si pendengar mengerti dan paham maknanya. pada dialog di atas mencerminkan mereka berasal dari masyarakat yang status sosialnya tinggi bukan orang pnggiran atau orang desa.
Berbeda lagi dengan dialog berikut ini:
Kumis : Monyong.... Tutup bacot loe. Beo (Bleki ketakutan) nah, aku ditendang dari jabatan hansip lantaran dianggap tidak mampu. Mau jadi satpam... kalah saingan, lagian aku buta huruf.
Bleki : jadi... nah...
Dalam dialog diatas terdapat campur kode pada perkataan penutur (Kumis) yaitu menggabungkan bahasa betawi dan bahasa indonesia. Ujaran ini mencerminkan status sosial rendah atau masyarakat betawi pinggiran. Dan masih banyak dialog-dialog lain seperti ragam idiolek yang digunakan para waria seperti tokoh julini menggembarkan kultur budaya masyarakat pinggiran kota.

d)Mimesis Dalam Ideologi Pengarang

Secara implisit dalam karya-karyanya suara Riantiarno adalah suara kaum urban kota, pinggiran. Keberpihakan dia kepada kaum pinggiran sendiri juga sudah menjadi pesan tersendiri. Suara-suara kritik sosial, ekonomi dan politik, terutama dalam menyoal kasus-kasus:
A.penggusuran dengan dengan membumihanguskan perumahan pelacuran dan daerah kumuh;
B.membubarkan masa yang demonstrasi dengan kekuasaan pelor dan bedil;
C.pejabat yang tidak memiliki integritas moral yang baik terbukti dengan sering “main¨ di lokalisasi.Selain itu pejabat juga korupsi dan kolutif;
Riantiarno memberikan pembelajaran demokratisasi politik terhadap institusi-institusi partai politik sebagai saluran aspirasi. Institusi kaum pinggiran lebih beradab dalam menyuarakan politiknya, tidak barbar seperri partai politik yang sering menggalang masa untuk menekan lawan politiknya hingga sampai terjadi anarkisme. Riantiarno seperti sedang melakukan dekonstruksi terhadap institusi yang menyokong demokrasi. Riantiarno sedang mengejek dan meledek demokrasi yang dijalankan oleh golongan yang berdiri di atas kaki politikus dan merasa atau seolah-olah golongan intelektual. Riantiarno memilih institusi kaum pinggiran untuk menyuarakan aspirasi politik demokrasi dan politik ekonomi adalah sebuah pesan ideologis juga, bukan untuk sebuah tindakan yang artifisial.






















KESIMPULAN

Berdasarkan uraian atau analisis yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra tercipta takan lepas dari unsur masyarakat atau sosial. Hubungan sastra dengan masyarakat sebagai cerminan (mimesis) dalam drama opera kecoa dapat dilihat dari aspek berikut:
Dalam Tokoh
Dalam Stage Direction
Dalam Dialog
Dalam Ideologi Pengarang
Drama ini lebih dominan mencerminkan suara kaum urban pinggiran dan masyarakat kelas bawah yang tersisihkan dan tidak mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah, yang terlalu diskriminatif. Juga menggabarkan kritik social, ekonomi, politik, dan penyalahgunaan kekuasaan. Drama ini merupakan bentuk ekspresi pengarangnya yang menentang pemerintahan yang tidak berpihak pada kaum minoritas. Riantiarno memilih institusi kaum pinggiran untuk menyuarakan aspirasi politik demokrasi dan politik ekonomi adalah sebuah pesan ideologis.













DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
WWW. Venayaksa.blogspot.com
WWW.Google.co.id

Selasa, 03 November 2009

serpihan cinta

gemuruh ombak memintal memori
membenamkan angan pada diari
ketika hati mulai kuselami
serpihan cinta kutemukan di sini.

03.11.2009