Catatan Materi Bahasa Indonesia

Catatan Materi Bahasa Indonesia

Selasa, 27 Oktober 2009

pendekatan semiotik terhadap opera kecoa


Pendekatan Semiotik

Untuk menyelami teks opera kecoa penulis memaki pendekatan semiotik, kenapa kami meilih kajian semiotic dibandingkan dengan kajian yang lain? menurut Halliday dalam Kutha Ratna (2004:98) menyebutkan bahwa semioltik adalah kajian umum dimana bahasa dan sastra hanyalah satu bidang di dalamnya. Meskipun demikian justru dalam bahasa dan sastralah kajian semiotic dilakukan secara mendalam, sehingga dalam periode dan semestaan tertentu semiotik seolah-olah menjadi dominasi ilmu sastra. Atas dasar inilah penulis mencoba membongkar teks opera kecoa dengan semiotik agar didapati hasil kajian yang optimal.
Semiotik didefinisikan oleh Ferdinan de Saussure di dalam Course in General Linguistics, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit, dalam definisi itu adalah prinsip, bahwa semiotika menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehinga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Penggunaan metoda semiotik sebagai pendekatan pembacaan dalam penelitian karya sastra (drama) didasarkan pada pengertian tentang tanda, cara kerjanya, dan penggunaannya. Menurut Peirce (dalam Sahid, 2004: 5) tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Manusia memiliki kemungkinan yang sangat luas dalam penerapan tanda-tanda, diantaranya tanda-tanda dengan kategori linguistik. Charles Sander Peirce mengelompokan tipologi tanda, hubungan antara tanda dengan acuannya dibedakan menjadi tiga, yaitu :ikon, indeks, dan symbol: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna menjelaskan ketiganya sebagai berikut:
Ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto
Indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat seperti asap dan api, tidak akan ada asap jika tidak ada api.
Simbol, hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan seperti Bendera.
Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko dan Rahmanto, 1998:133). Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahuikan sesuatu hal kepada seseorang.
Pada dasarnya, naskah drama merupakan kumpulan simbol. Sebagai simbol, karya drama akan berarti jika penikmatannya berada pada konvensi yang sama. Jadi, sudah ada persetujuan antara pemakai simbol tentang hubungan simbol dengan acuannya. Yang unik adalah drama memberi kebebasan yang lebih besar pada penafsir simbol dari pada simbol-simbol lain yang lebih terbatas, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
Berikut ini beberapa analisis semiotik dalam naskah drama Opera kecoa:
Tanda dalam karakter
Individualisasi
Karakteristik dari setiap tokoh tentu mempunyai pembawaan, daya tarik yang berbeda dan dan bisa memusatkan suatu perhatian tehadap karakter individual.
(Index) Dalam naskah opera kecoa ini bisa dilihat dari para pelacur seperti tuminah yang dulunya dia ini adalah gadis lugu dan baik, berubah menjadi seorang cabo/pelacur akibat dari kerasnya ibu kota juga kurangnya kepedulian pemerintah terhadap warga pinggiran dan pengangguran. Selain tuminah ada juga kumis yang dulunya seorang hansip kemudian beralih profesi menjadi preman dan centeng dari komlpek rumah bordir.
(Ikon) Tuminah diperlihatkan sebagai seorang pelacur yang selalu diantri dan diminati pejabat dan tamunya . dapat ditafsirkan Tuminah adalah pelacur paling cantik, paling profesional dalam melayani tamu-tamunya, terutama gaya-gaya “permaianannya¨. Tuminah paling pandai memuaskan tamu-tamunya sehingga pejabat selalu berkunjung dan berkunjung.
(Ikon) Dalam naskah opera kecoa ini pejabat aparatur negara digambarkan sebegitu buruk mental mentalnya, ia sering menggunjungi tuminah yang merupakan pelacur. selain itu juga pejabat digambarkan tidak mempunyai integritas moral yang tinggi, gemar korupsi, tidak memiliki empati terhadap rakyat yang ada di pemukiman kumuh walaupun jelas terlihat didepan matanya. Jauh dari keadilan dan selalu menelesaikan masalah dengan kekerasan, ini bisa dilihat dari Satpol PP yang selalu bertindak semena-mena. Inilah yang mungkin menyebabkan naskah ini dicekal dan tidak boleh dipentaskan pada masa orba.
(Simbol) Dalam Opera Kecoa, penamaan tokoh seperti Roima, Julini, Tarsih, Tuminah, Asnah, Kasijah, dari segi kultural nama mereka adalah nama-nama orang desa, orang-orang kampung dan bukan dari kultur perkotaan.

kolektivitas
Pasukan anti huru-hara yang bertindak kasar merupakan symbol dari kekusaan yang semena-mena yang hanya mementingkan golongan. Pemerintah menganggap para banci dan renman yang ada dipinggiran kota harus enyah, seperti dalam kata “disemprot dengan obat kecoa”,pemerintah menganggap mereka tidak mempunyai keterampilan apapun. Seperti dalam dialog Roima ketika Julini tertembak, “dia bukan tidak ingin menjadi sekretaris dan direktis, mereka hanya punya keahlian sebatas memijat¨.

Julini dan Roima digambarkan dari desa kembali ke kota untuk mencari penghidupan yang layak. Di atas denotatif ini terdapat tafsir implisit, bahwa kota tetap menjadi daya tarik bagi masyarakat desa yang mengenggap kota adalah impian, kota adalah harapan, sekalipun hidup di kota begitu sulit dan membutuhkan perjuangan yang keras.

Tanda dalam dialog
Dalam lakon opera kecoa symbol dibentuk oleh majas misalnya ketika pejabat dan tamu asingnya membicarakan kesejahteraan rakyat di lapangan golf, menggambarkan pemerintahan yang menyepelekan masalah rakyat dan lebih mementingkan sumbangan dana yang akan diberikan oleh tamu asing tersebut.
Selain dalam bentuk percakapan seperti, dialog juga dibawakan dengan dinyanyikan, misalnya Julini, Pejabat, Penghuni (Orang-orang), para bandit, dan para Waria. Penyampaian melalui nyanyian ini mungkin agar pembaca dan penikmat drama merasa terhibur dan pesan dapat dipahami dengan mudah, komunikatif sehingga persoalan dalam naskah tersebut dapat dimengerti oleh berbagai kalangan.

Tanda dalam setting/ latar
Tanda dalam setting lebih jelas terlihat mengenai latar sosial yang digambarkan secara detail dalam visual panggung. Dalam eksposisi digambarkan secara visual sisi lain suasana tentang peradaban kota yang gemerlap. Tentang kehidupan para kecoa yang berhimpitan dalam lorong-lorong yang gelap dibalik kemegahan gedung-gedung tinggi, monumen. Di balik kota, banyak derita, kelaparan, kemiskinan dan tragedi. Yang satu menjadi kecoa dan yang lain menjadi garuda. Bumi bergetar, rentetan bunyi tembakan. Nyanyian dan tangisan.
Pemandangan yang begitu kontras juga jelas diperlihatkan antara lapangan golf dan pemukiman kumuh, misalnya saat pejabat dan tamu asing pergi satpam memnuka kain putih yang menutupi gubuk-gubuk. Jelas ini merupakan indeks (hubungan tanda dan objek karena sebab akibat), oleh sebab pemerintahan yang tidak bisa mengelola, mengayomi masyarakat pinggiran dan menata kotanya sendiri dia merasa malu terhadap tamunya dan yang diperlihatkan hanyalah proyek-proyek yang pembangunannya sedang berjalan, dan ini juga merupakan cara agar sumbangan dan dari tamu asing agar cepat dicairkan.

Ideologi
Simbol yang dioperasikan Riantiarno dalam drama Opera Kecoa telah membawa pencerahan dan pandangan lain terhadap kaum urban miskin, kaum pingggiran, kaum yang dimetaforakan hanyalah kecoa.Dalam pandangan umum, seperti pelacur, waria, gelandangan, bandit kelas teri, cabo, germo adalah “sampah masyarakat¨. Riantiarno, sebagai seniman memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan umum, dalam posisi sebagai seniman teater bagaimana lakon menjadi penting untuk menyuarakan kontrol sosial di masyarakatnya.
Dalam drama Opera Kecoa, orang-orang pinggiran ini diposisikan sebagai pejuang, sebagai pahlawan. Tema demokrasi, tuntutan keadilan, kemiskinan, pemerintah yang adil, isu perempuan, adat perkawinan, diskriminasi rasial dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat mendomasi isi tubuh lakon Opera Kecoa.
Konflik kaum pinggiran dengan Pejabat, Petugas dan Satpam dilambangkan sebagai pertentangan Riantiarno dengan Pejabat Orde Baru ketika melaksanakan kebijakan politiknya. Orde baru dikritik dan diserang Riantiarno dengan babak belur. Ia menguliti kejahatan politik Orde baru dalam representasi teater. Kerasnya Riantiarno menghajar Orde Baru, sekeras Orde Baru melarang Opera Kecoa untuk dipentaskan. Demokrasi dan keadilan ekonomi yang diperjuangkan Riantiarno berbanding lurus dengan tidak berjalannya demokrasi politik dan ekonomi dalam Orde Baru.





KESIMPULAN
Penulis berhasil menemukan tanda (ikon, indeks, symbol), seperti apa dioperasikan Riantiarno dalam naskah lakon Opera Kecoa. Selain itu juga membongkar makna ideologisnya. Berikut ini adalah temuan-temuan yang penulis maksud.
Tanda dapat dilihat dalam tokoh melalui nama ,jenis kelamin, penampilan, kepribadian, tingkah laku, perbuatan dan latar sosialnya.
Menggunakan diksi dialog dengan bahasa keseharian sehingga mencerminkan kewajaraan. Simbol tertata dalam dialog yang bermakna pada tingkat kuantitas, kualitas, relasi dan sikap.
Simbol dalam stage direction menggambarkan latar suasana tempat, waktu dan latar sosial. Selain itu, menjadi keterangan-keterangan lakuan para tokoh. Terutama performance tokoh dalam gesture dan mimik.
Ideologis dalam drama Opera Kecoa berpihak pada kaum urban miskin/kaum pinggiran, mendorong politik demokratisasi dan kritik sosial ekonomi, kuam pinggiran sebagai pahlawan, diskriminasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat. lakon/ drama bisa digunakan untuk memberdayakan orang-orang pinggiran dan menyoroti perjuangannya supaya masyarakat umum bisa mengerti kehidupan yang lebih baik dan dapat membantu kondisi sosialnya. Opera Kecoa adalah ekspresi politik masyarakatnya untuk melawan kekuatan penguasa dan keadaan sosial yang tak adil.






Pustaka Acuan.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Senin, 19 Oktober 2009

puisi cinta

Sendiri
Aku sendiri
Sendiri di sini
Sendiri kawanku
Sunyi hidupku

Meski cinta, kasih sayang, dan pujian mengiringi
Aku ingin sendiri!

Aku sendiri
Di sini sendiri
Di sana sendiri
Kemana-mana sendiri

Walau ribuan hati menyertai
Aku ingin sendiri

Aku sendiri
Sendiri aku
Tak sendiri, bukan aku.

Syaiful munkari
Serang 25.06.09

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kekeliruan Penggunaan tanda baca

Kekeliruan Penggunaan Pungutasi (tanda baca)

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada kekeliruan dan kesalahan penempatan tanda baca khususnya dalam artikel di koran Radar Banten edisi Selasa 14 Juli 2009. Bahasa dalam pengertian sehari-hari adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis merupakan pencerminan kembali dari bahasa lisan itu dalam bentuk simbol-simbol tertulis. Penguasaan bahasa yang benar sesuai dengan kaidah yang ada merupakan kunci kelancaran dan kesempurnaan proses komunikasi. Dalam bahasa tertulis biasanya terdapat kesalahan-kesalahan penggunaan tanda baca yang kemudian mempersulit pembaca untuk dapat memahami isi dari tulisan tersebut. Kesalahan dan kekeliruan tersebut dapat disebabkan karena kurangnya informasi, pengetahuan, dan pengalaman pada diri penulis sebagai bekal untuk menulis. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesalahan dan kekeliruan penggunaan tanda baca yang sering dilakukan oleh penulis. Metode dalam penelitian ini aalah metode penelitian deskriptif. Kesimpulan menunjukkan bahwa dalam artikel di Koran Radar Banten masih ada kesalahan penempatan tanda baca meskipun tidak terlalu banyak. (kata kunci : menganalisis dan mendeskripsikan pelbagai pengertian tanda baca dan kesalahannya).





Pendahuluan

Penguasaan bahasa yang benar sesuai dengan kaidah yang ada merupakan kunci kelancaran dan kesempurnaan komunikasi seseorang tidak dapat menyampaikannya dan menerima pesan berupa perasaan, kemauan, pikiran, kemauan dan gagasan secara efektif apabila orang tersebut tidak menguasai bahasa sebagai sarananya. Bahasa tulis merupakan pencerminan kembali dari bahasa lisan dalam simbol-simbol tertulis. Kesalahan dan kekeliruan biasanya terdapat dalam bahasa tulis, ini disebabkan karena menulis merupakan keterampilan yang diperoleh malalui proses pembelajaran.
Tarigan dalam Hasani (2005:01) menyatakan bahwa, menulis adalah salah satu jenis keterampilan berbahasa setelah menyimak dan berbicara yang dimiliki manusia melalui pembelajaran.
Hal senada di ungkapkan Hasani (2005:02) bahwa, menulis adalah proses mengutarakan pikiran, perasaan, pengindraan, khayalan, kemauan, keyakinan, dan pengalaman yang disusun dengan lambang-lambang grafik secara tertulis untuk tujuan komunikasi.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa hanya manusia yang mampu mengungkapkan ide, pikiran, gaagasan, keinginan, pengalaman dan sebagainya, kedalam bahasa tulis atau tulisan. Keterampilan menulis adalah keterampilan yang mekanistis, keterampilan ini tidak mungkin dikuasai hanya melalui teori saja.



Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif artinya metode yang digunakan untuk mengungkapkan atau menggambarkan kejadian yang terjadi pada masa sekarang. Dalam hal ini metode deskriptif digunakan untuk memaparkan penempatan tanda baca yang tepat juga kesalahan dan kekeliruan penggunaan tanda baca dalam artikel di Koran Radar Banten.
Hasil dan Pembahasan

Setelah diadakan analisa terhadap dua artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU dan Menunggu Golkar Menjadi Oposisi diperoleh hasil sebagai berikut:
terdapat tiga kesalahan dalam artikel Kekalahan Elite Struktural NU yaitu, kesalahan tanda titik (.), kesalahan tanda hubung (-), dan kesalahan tanda Tanya (?), sedangkan pada artikel Menunggu Golkar Menjadi Oposisi tidak terdapat kesalahan tanda baca. Berikut ini adalah pembahasan mengenai kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam artikel Kekalahan Elite Struktural NU:

Kesalahan Tanda Titik
Dalam artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU terdapat beberapa kesalahan yaitu dalam paragraf Ke-2, 3, dan 6, contohnya pada penggalan kalimat berikut:
”… ketua umum PBNU KH Hasyim Muzadi….

Dalam buku “ KOMPOSISI ” yang di tulis Keraf (1971:15), tentang penggunaan tanda titik pada butir kedua, di katakan bahwa tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat, atau ungkapan yang sudah lazim.
Dengan memperhatikan pendapat tersebut maka tanda titik perlu digunakan di akhir singkatan gelar “ KH ” menjadi :
“…ketua umum PB NU KH. Hasyim Muzadi…


Kesalahan Tanda Hubung
Dalam artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU terdapat satu kesalahan pemakian tanda hubung (-) dalam paragraf Ke-2 pada kalimat berikut :
“…mendebatkan wacana boleh tidaknya mereka terlibat dalam politik praktis-,”

Menurut Keraf (1971:25) tanda hubung dipakai untuk memperjelas hubungan antara bagian kata atau ungkapan; tanda hubung dipakai untuk menyambung bagian-bagian dari kata ulang; tanda hubung dipakai untuk merangkaikan: Se- dan Ke-.
Jadi penggunaan tanda hubung di akhir kalimat di atas seharusnya tidak perlu terjadi, karena tidak ada aturan dan keadaannya.

Kesalahan Tanda Tanya
Pada artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU terdapat satu kesalahan penggunaan tanda tanya yaitu dalam paragraf 13 pada kalimat berikut:
“… apalagi jika tanpa khilah 26 ?”

Menurut keraf (1971:24) tanda tanya digunakan untuk pertanyaan langsung; untuk menyatakan keragu-raguan atau ketidak tentuan; dan kadang digunakan untuk menggantikan bentuk sarkastis. Sebenarnya pada kalimat di atas bukanlah suatu pertanyaan langsung, jika tanda tanya tersebut untuk menyatakan keragu-raguan maka tempatkanlah tanda kurung (?).


Simpulan

berdasarkan hasil analisis terhadap dua artikel di Koran Radar Banten, edisi Selasa 14 Juli 2009 artikel di dalamnya cukup bagus dan menarik, hanya saja masih terdapat kesalahan penggunaan dan penempatan tanda baca yaitu, pada artikel yang berjudul Kekalahan Elite Struktural NU, terdapat kesalahan tanda titik, tanda Tanya, dan tanda penghubung. Tetapi secara materi artikel tersebut sudah bagus dan relevan untuk dibaca. Karena keterbatasan waktu penulis memohon maaf apabila analisis yang dilakukan dalam artikel ini hanya pada dua artikel.



Pustaka Acuan

Keraf, Goris. 1971. KOMPOSISI. Flores : ARNOLDUS
Hasani, Aceng. 2005. Ihwal Menulis. Serang : UNTIRTA PRESS
Budi Santoso, Kusno. 1990. Problematika Bahasa Indonesia. Jakarta: RINEKA CIPTA
Firmansyah, Dodi. 2006. Jurnal litura Volume 1. Serang : Uuniversitas Sultan Ageng Tirtayasa.


Tentang Penulis

Penulis adalah mahasiswa UNTIRTA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Prodi DIKSATRASIA dan aktif sebagai tim musikalisasi puisi SERENADA